Repelita Jakarta - Pengamat Risman Rachman menanggapi narasi yang menyebut masyarakat Aceh kurang bersyukur atas upaya penanganan bencana banjir dan longsor di wilayah mereka.
Menurutnya, penyelamatan warga merupakan kewajiban utama negara yang didanai dari pajak rakyat, bukan sekadar kebaikan hati pribadi.
Kritik dari masyarakat atas kelambatan respons justru merupakan wujud partisipasi publik yang sah dan dilindungi hukum.
Diamnya rakyat saat nyawa terancam malah menjadi indikasi masalah serius dalam tata kelola pemerintahan.
Risman Rachman menekankan bahwa kapasitas daerah memiliki batas nyata dalam menghadapi bencana berskala besar.
Meskipun anggaran daerah digunakan seoptimal mungkin, upaya lokal tidak akan cukup tanpa dukungan luar biasa dari pusat melalui status bencana nasional.
Dalam perspektif Syariat Islam yang berlaku di Aceh, perlindungan jiwa atau Hifzhun Nafs merupakan tujuan tertinggi syariat.
Menuntut negara bertindak cepat bukan pembangkangan, melainkan pemenuhan perintah agama yang mengutamakan keselamatan nyawa di atas prosedur administratif.
Ia juga mengingatkan agar tidak sembarangan melabeli keluhan warga sebagai hoaks.
Sering kali fakta sulit di lapangan justru diupayakan diredam atau diputarbalik demi mempertahankan citra positif.
Keberadaan negara yang sesungguhnya terlihat dari keputusan politik tingkat tertinggi untuk mempersingkat birokrasi dalam situasi darurat.
Tanpa status bencana nasional, gerak aparat tetap terhambat aturan anggaran yang kaku.
Risman Rachman menilai bahwa rakyat Aceh telah menunjukkan sikap sabar dengan memaknai bencana sebagai ujian dari Tuhan.
Namun, jika masyarakat mulai melihat kejadian ini sebagai bentuk ekosida akibat kebijakan yang merusak lingkungan, maka situasi politik bisa berubah drastis.
Editor: 91224 R-ID Elok

