Pegiat media sosial Herwin Sudikta menilai persoalan ini mencerminkan kegagalan mendasar dalam agenda reformasi institusi Polri.
"Inilah keniscayaan yang terjadi ketika Kapolri adalah bagian dari tim reformasi itu sendiri," ujar Herwin, menyoroti fakta bahwa pucuk pimpinan kepolisian justru berada di dalam struktur tim transformasi tersebut.
Ia menyatakan kondisi tersebut membuat semangat reformasi kehilangan esensinya dan berubah menjadi sekadar slogan tanpa makna.
Herwin menyindir bahwa praktik reformasi semacam itu tidak lagi objektif karena kekuasaan menilai dan mengawasi dirinya sendiri.
"Reformasi berubah jadi lelucon mahal, kekuasaan mengaudit dirinya sendiri," katanya.
Ia menegaskan bahwa polemik ini bukan sekadar persoalan perbedaan penafsiran hukum semata, melainkan menyangkut sikap institusi.
"Ini bukan soal salah tafsir hukum. Ini soal pembangkangan konstitusi yang dibungkus regulasi internal," tegas Herwin.
Lebih lanjut, Herwin memperingatkan dampak serius dari praktik semacam itu terhadap fondasi negara hukum.
"Negara hukum mati bukan karena kudeta. Tapi karena dibantai oleh orang yang ada di dalam sistem itu sendiri," ucapnya.
Ia pun menolak anggapan bahwa situasi ini terjadi secara kebetulan atau merupakan kekeliruan administratif belaka.
"Absurd? Tidak. Ini desain," tandas Herwin.
Kritik terhadap Perpol tersebut sebelumnya telah disampaikan oleh pakar hukum tata negara Mahfud MD.
Mahfud menyatakan bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada 14 November 2025.
Putusan MK secara tegas melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan di luar institusi kepolisian kecuali mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu.
"Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri," kata Mahfud, sebagaimana dikutip pada Sabtu, 13 Desember 2025.
Mahfud menjelaskan bahwa menurut putusan MK, tidak ada lagi mekanisme penugasan dari Kapolri untuk anggota yang akan masuk ke institusi sipil.
Selain bertentangan dengan putusan MK, Mahfud juga menilai peraturan ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak sesuai dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ia membandingkannya dengan Undang-Undang TNI yang secara eksplisit menyebutkan jabatan sipil tertentu yang dapat ditempati prajurit.
"Jadi Perpol ini tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya," tegas Mahfud.
Aturan yang ditandatangani Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 9 Desember 2025 ini mengatur penempatan anggota aktif Polri di 17 kementerian dan lembaga negara.
Menanggapi kritik, Polri melalui Divisi Humas menyatakan bahwa Perpol 10/2025 telah mengacu pada regulasi yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang tentang Polri dan ASN.
Namun, akademisi seperti Erry Meta dari Universitas Wijaya Putra Surabaya melihat adanya celah hukum yang serius.
Erry menyoroti bahwa peraturan ini hanya mewajibkan pelepasan jabatan struktural internal, bukan pelepasan status keanggotaan aktif seperti dimandatkan MK, sehingga berpotensi mempertahankan loyalitas ganda.
Pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada Zaenal Arifin Muchtar juga mengkritik daftar 17 lembaga yang dinilai berlebihan dan menyimpang dari semangat putusan MK.
Zaenal menilai hanya empat hingga lima lembaga yang secara substansial terkait langsung dengan tugas kepolisian.
Ia menyarankan agar pengaturan semacam ini seharusnya ditempatkan pada level Peraturan Presiden untuk menghindari konflik norma hukum.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

