
Repelita Jakarta - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan bahwa kepolisian perlu menahan para tersangka seperti Roy Suryo dan kawan-kawan agar proses penyidikan kasus dugaan pencemaran nama baik terkait ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo bisa berjalan lebih cepat.
Kasus ini telah berlangsung hampir satu tahun sejak laporan awal pada April 2025, dengan Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan tersangka yang terbagi dalam dua kelompok.
Hingga kini, berkas perkara belum dilimpahkan ke jaksa penuntut umum, dan para tersangka belum ditahan karena masih mengajukan saksi serta ahli yang meringankan.
Penyidik memutuskan untuk memeriksa terlebih dahulu saksi-saksi tersebut sebelum menentukan langkah penahanan.
Menurut Abdul Fickar Hadjar, dalam prosedur pidana tanpa penahanan, tidak terdapat batas waktu yang ketat.
Penahanan justru menjadi pendorong agar penyidikan dan penuntutan berlangsung lebih lancar serta tepat waktu.
Dalam wawancara dengan media pada 24 Desember 2025, ia menjelaskan bahwa selama bukti belum dianggap lengkap, proses tetap boleh berlanjut tanpa kaitan dengan penahanan.
Namun, penahanan biasanya membuat institusi kepolisian lebih aktif mengejar kelanjutan perkara agar masa tahanan tidak terbuang sia-sia.
Penyidik cenderung lebih rileks jika tidak ada penahanan, karena tidak ada tekanan waktu yang mendesak.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak menetapkan batas waktu tetap untuk proses tanpa tahanan.
Selama minimal dua alat bukti telah terpenuhi dan penyidik yakin, perkara bisa diajukan ke penuntut umum.
Kewenangan penahanan dibatasi ketat oleh undang-undang, misalnya 20 hari yang bisa diperpanjang menjadi 40 hari, kemudian wajib dilepaskan kecuali untuk pidana berat di atas sembilan tahun yang memungkinkan perpanjangan lebih lanjut hingga 60 hari.
Untuk delik dengan ancaman di bawah lima atau sembilan tahun, proses tanpa penahanan tidak terikat batas waktu tertentu.
Abdul Fickar Hadjar lahir di Jakarta pada 15 September 1957.
Ia saat ini mengajar di Universitas Trisakti, khususnya mata kuliah Perbandingan Hukum Acara Perdata dan Pidana.
Pendidikan sarjana diraihnya dari Fakultas Hukum Universitas Jayabaya pada 1984, dilanjutkan dengan magister di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 2002.
Sebelumnya, ia pernah mengkritik penghentian penyelidikan oleh Bareskrim Polri terkait keaslian ijazah Joko Widodo.
Menurutnya, penetapan keaslian hanya sah jika diputuskan melalui sidang pengadilan.
Polemik ini berpotensi berlarut-larut karena penghentian di tahap penyelidikan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pelapor masih bisa mengajukan laporan baru dengan bukti tambahan.
Upaya paksa seperti penyitaan barang bukti baru dilakukan pada tahap penyidikan, sehingga kesimpulan dini dianggap terlalu cepat.
Delapan tersangka terdiri dari dua klaster.
Klaster pertama meliputi Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Muhammad Rizal Fadillah, Rustam Effendi, serta Damai Hari Lubis.
Mereka dijerat dengan pasal pencemaran nama baik, penghinaan, serta provokasi dari KUHP maupun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Klaster kedua mencakup Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma.
Mereka menghadapi pasal tambahan terkait manipulasi dokumen elektronik.
Kasus bermula dari laporan organisasi masyarakat pada April 2025, disusul laporan dari Jokowi serta pihak terkait.
Gugatan perdata di pengadilan negeri Solo dan Jakarta Pusat dinyatakan tidak dapat diterima karena lebih sesuai ranah pidana atau tata usaha negara.
Universitas Gadjah Mada telah mengonfirmasi bahwa Joko Widodo merupakan alumnus Fakultas Kehutanan angkatan 1980 yang lulus pada 1985.
Editor: 91224 R-ID Elok.

