Repelita Jakarta - Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 Maruarar Siahaan menilai polemik keaslian ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo terus membesar karena ada kesan kuat bahwa dokumen tersebut sengaja tidak dibuka secara terang-terangan kepada masyarakat.
Menurutnya, sikap tertutup justru memicu spekulasi liar dan memperpanjang ketidakpercayaan publik yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan satu langkah transparansi.
“Dari sudut pandang struktur pribadi, persoalan ini membesar karena ada sesuatu yang tampaknya ditutupi. Itulah yang kemudian menjadikannya masalah serius,” ujar Maruarar dalam perbincangan di kanal YouTube Abraham Samad pada Minggu, 7 Desember 2025.
Ia menegaskan bahwa nilai kebenaran bersifat membebaskan dan harus menjadi prinsip utama dalam menyelesaikan persoalan yang menyangkut kredibilitas seorang pemimpin negara.
“Kebenaran itu memiliki makna fundamental. Ia membebaskan dari kegelapan, dari dusta, dari kebohongan, dan dari ketidakbenaran,” tambahnya.
Maruarar menjelaskan bahwa dokumen ijazah asli Jokowi seharusnya sudah berada di tangan jaksa penuntut umum atau setidaknya penyidik Polda Metro Jaya yang saat ini menyimpannya sebagai barang bukti.
Keberadaan dokumen asli itu menjadi kunci utama untuk membuktikan keabsahan secara hukum sebelum masuk ke tahap persidangan yang lebih substansial.
Ia menilai alasan bahwa ijazah bukan informasi publik tidak dapat diterima, karena ketika seseorang mencalonkan diri dalam pemilu, seluruh syarat pencalonan termasuk ijazah wajib terbuka untuk publik.
Sementara itu, kuasa hukum Jokowi Yakup Hasibuan menyatakan kliennya siap menunjukkan ijazah asli jika diminta secara resmi oleh lembaga berwenang atau pengadilan, namun tidak berkewajiban melakukannya atas permintaan individu tertentu.
Pernyataan Yakup itu disampaikan melalui kanal YouTube tvOneNews pada Senin, 1 Desember 2025.
Pakar hukum Universitas Indonesia Febby Mutiara Nelson menilai bahwa menunjukkan ijazah saja belum tentu menyelesaikan masalah karena masih bisa diperdebatkan keasliannya, mulai dari jenis kertas hingga proses forensik.
Menurutnya, satu-satunya cara yang benar-benar transparan adalah membawa kasus ini ke pengadilan terbuka agar masyarakat bisa mengikuti proses pembuktian secara langsung.
“Memang harus dibawa ke pengadilan kalau menurut saya. Karena di situlah akan diuji dan transparansi itu akan kelihatan,” tegas Febby.
Ia menambahkan bahwa proses penyidikan saat ini bersifat tertutup, sehingga hanya di persidangan publik lah semua pihak bisa menilai keabsahan bukti yang diajukan tanpa ada lagi ruang untuk keraguan.
Perdebatan ini terus bergulir di tengah penanganan perkara oleh Polda Metro Jaya, sementara publik masih menunggu kejelasan dokumen yang menjadi syarat konstitusional seorang presiden.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

