
Repelita Jakarta - Staf Deputi Persidangan DPD RI Oksan Ikhsanto menegaskan bahwa revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang disahkan DPR pada Selasa 18 November 2025 sama sekali tidak membolehkan penangkapan tanpa alat bukti permulaan yang cukup.
Menurut Oksan, penangkapan seseorang tanpa dasar hukum jelas dan bukti awal yang memadai merupakan perbuatan melawan hukum sekaligus pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia di Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa setiap penangkapan hanya sah dilakukan jika terdapat bukti permulaan yang cukup disertai surat perintah resmi, dan apabila dilakukan secara sembarangan akan berakibat konsekuensi hukum bagi pelaku penyalahgunaan wewenang.
Oksan juga merincikan hak-hak tersangka yang tetap dilindungi dalam revisi KUHAP tersebut, antara lain hak untuk diberitahu alasan penangkapan beserta pasal yang disangkakan sejak detik pertama.
Tersangka berhak melihat dan menerima salinan surat perintah penangkapan, berhak menghubungi serta didampingi penasihat hukum sejak proses penyidikan dimulai sesuai Pasal 54 sampai 56 KUHAP.
Selain itu, tersangka dilindungi dari segala bentuk kekerasan fisik maupun penyiksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 KUHAP serta prinsip hak asasi manusia yang berlaku universal.
Sementara itu, anak muda bernama Raditya Ikhsan menyatakan masih sering terjadi kasus penangkapan yang terkesan tanpa bukti jelas karena kurangnya transparansi dari aparat penegak hukum.
Menurut Raditya, masalah utama bukan terletak pada aturan yang baru disahkan, melainkan pada penerapan di lapangan yang kadang tidak rapi dan tidak dijelaskan dengan baik kepada publik sehingga menimbulkan salah paham.
Ia berharap revisi KUHAP ini benar-benar memperkuat kepastian hukum serta melindungi rakyat, bukan malah menjadi alat untuk memperberat posisi warga sipil di hadapan aparat.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

