
Repelita Jakarta - Wartawan senior Edy Mulyadi menilai bahwa keruntuhan negara hukum tidak selalu terjadi melalui cara kekerasan atau kudeta, melainkan dapat berlangsung secara bertahap melalui penafsiran konstitusi yang bersifat selektif.
Penafsiran tersebut cenderung tegas terhadap pihak lemah, namun longgar bagi yang memegang kekuasaan.
Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 menjadi contoh nyata yang menguji komitmen negara terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.
Aturan tersebut secara langsung bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi serta dua undang-undang utama, yaitu Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
Pelanggaran ini mengingatkan pada kasus serupa di masa lalu, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia calon wakil presiden pada pemilihan presiden 2024.
Putusan tersebut memungkinkan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden, dan dipertahankan dengan argumen bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat diganggu gugat.
Meskipun menuai kritik luas karena indikasi konflik kepentingan, putusan itu tetap dipertahankan setelah pemberhentian Anwar Usman dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Kini, standar yang sama sedang diuji kembali melalui Peraturan Kepala Kepolisian yang jelas melanggar norma lebih tinggi.
Alih-alih dibatalkan, aturan ini justru diperlakukan sebagai isu yang dapat diselesaikan melalui mekanisme lain seperti Peraturan Pemerintah.
Pendekatan ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai konsistensi penegakan konstitusi.
Apakah konstitusi masih ditegakkan secara merata, atau hanya diterapkan sesuai kepentingan penguasa saat itu.
Dari segi hierarki peraturan perundang-undangan, Peraturan Kepala Kepolisian berada pada posisi jauh lebih rendah dibandingkan undang-undang maupun putusan Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, aturan tersebut mengandung cacat konstitusional sejak awal.
Dalam sistem hukum yang sehat, konflik hierarki semacam ini seharusnya diselesaikan dengan pembatalan langsung tanpa ruang negosiasi.
Upaya pemerintah untuk menangani melalui Peraturan Pemerintah justru menunjukkan pengabaian terhadap sifat final putusan Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Pemerintah tidak memiliki wewenang untuk mengubah atau menegasikan keputusan lembaga yudikatif tertinggi.
Membiarkan aturan yang melanggar tetap berlaku menyampaikan pesan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi dapat ditawar-tawar sesuai situasi kekuasaan.
Hal ini mengubah prinsip final dan mengikat menjadi sekadar retorika kosong.
Preseden sebelumnya pada kasus batas usia calon wakil presiden menunjukkan penerapan standar ganda.
Saat itu, argumen finalitas dipertahankan meskipun ada dugaan pelanggaran etika.
Kini, ketika aturan lebih rendah bertabrakan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, pencarian solusi alternatif justru dilakukan.
Jika preseden ini dibiarkan, negara berisiko bertransisi dari negara hukum menjadi negara yang didominasi tafsir kekuasaan.
Solusi yang diusulkan adalah tindakan tegas dari Presiden Prabowo Subianto untuk membatalkan Peraturan Kepala Kepolisian tersebut sebagai kewajiban konstitusional.
Membiarkannya berlaku merupakan pilihan politik yang dapat merusak fondasi negara hukum.
Pembatalan bukanlah isu politik, melainkan penegakan prinsip hierarki hukum yang elementer.
Pilihan presiden dalam kasus ini akan menjadi penentu apakah konstitusi tetap dihormati atau hanya dimanfaatkan sesuai kepentingan penguasa, demikian pandangan Edy Mulyadi pada 24 Desember 2025.
Editor: 91224 R-ID Elok

