Repelita Jakarta - Jurnalis senior Edy Mulyadi menilai gelar perkara khusus terkait dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo hanya merupakan simulasi transparansi semata.
Dokumen yang diklaim sebagai ijazah asli memang diperlihatkan kepada para peserta dalam forum tersebut.
Namun, penayangan hanya berlangsung selama sepuluh menit dengan pembatasan ketat.
Peserta dilarang menyentuh, meraba, apalagi melakukan pengamatan mendalam maupun pengujian forensik terhadap kertas tersebut.
"Ada penggiringan opini kepada publik, seolah² polisi transparan. Memperlihatkan tanpa hak memeriksa bukanlah pembuktian. Yang terjadi publik justru menilai bahu-membahu gerilya menyelamatkan Jokowi," ujar Edy Mulyadi.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam diskusi bersama pakar hukum Refly Harun serta mantan pejabat Muhammad Said Didu.
Ketiga tokoh tersebut secara bersama-sama mengkritisi proses gelar perkara yang dinilai tidak membuka ruang pembuktian secara ilmiah dan terbuka.
Menurut mereka, keterbatasan akses terhadap dokumen justru memperkuat persepsi adanya upaya perlindungan terhadap figur Joko Widodo.
Diskusi panjang yang melibatkan analisis mendalam tersebut digelar melalui siaran langsung pada 16 Desember 2025.
Para pembicara menyoroti bahwa harapan publik akan penuntasan kasus melalui forum resmi ternyata berbenturan dengan praktik yang terkesan tertutup.
Edy Mulyadi, Refly Harun, dan Said Didu sepakat bahwa proses semacam ini hanya menciptakan ilusi keterbukaan tanpa substansi pembuktian yang sesungguhnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

