Repelita Jakarta - Perdebatan panas mewarnai diskusi antara Kantor Staf Presiden dan aktivis masyarakat sipil mengenai kebijakan penerimaan bantuan luar negeri untuk korban bencana banjir bandang serta longsor di Aceh dan Sumatera.
Aktivis hukum Ahmad Khozinuddin menyatakan bahwa respons pemerintah terhadap musibah tersebut belum sepenuhnya mencerminkan sikap empati serta kepemimpinan yang mampu menyatukan seluruh elemen bangsa.
Ia mengkritik kecenderungan sebagian aparatur negara yang lebih fokus membela diri atas sorotan publik ketimbang menjadikan kritik sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki mekanisme penanggulangan bencana.
Menurut Ahmad Khozinuddin, tidak ada pihak yang mampu menangani bencana skala besar secara mandiri, baik masyarakat maupun negara, namun beban utama tetap berada pada institusi pemerintahan.
Sekarang apa sih susahnya menetapkan bencana itu sebagai bencana nasional? Dan jangan menggunakan terminologi asing, tidak asing.
Pernyataan ini disampaikan Ahmad Khozinuddin dalam wawancara yang ditayangkan melalui kanal resmi YouTube iNews pada akhir Desember 2025.
Penetapan status bencana nasional dinilainya krusial untuk membuka pintu lebih lebar terhadap berbagai sumber dukungan, termasuk yang datang dari mancanegara.
Ia mempertanyakan logika penolakan bantuan dengan alasan bersifat asing, padahal kontribusi tersebut berasal dari negara-negara mitra dengan niat tulus membantu sesama manusia.
Ahmad Khozinuddin juga menyoroti inkonsistensi sikap pemerintah yang relatif mudah menerima fasilitas pinjaman internasional, tetapi ragu-ragu terhadap tawaran bantuan darurat bersifat kemanusiaan.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Saddam Al Jihad memberikan penjelasan bahwa pemerintah menerapkan pembeda antara skema bantuan antarpemerintah dengan yang bersifat antarmasyarakat.
Bantuan asing ini harus dibedakan. Ada people to people, ada state to state. Yang dimaknai ketika tadi state to state itu yang kata Pak Prabowo ini e belum butuh.
Pihak KSP menegaskan bahwa dukungan berbasis people to people tetap diterima sepenuhnya dan dialirkan melalui lembaga-lembaga masyarakat sipil di dalam negeri.
Pemerintah menyatakan pintu terbuka bagi segala bentuk kontribusi kemanusiaan selama memenuhi prosedur yang jelas dan tidak bertabrakan dengan regulasi nasional.
Beberapa negara seperti Malaysia dan Uni Emirat Arab telah memberikan bantuan yang kemudian disalurkan kepada para penyintas melalui jalur mitra lokal.
Namun, Ahmad Khozinuddin menilai penjelasan mengenai klasifikasi tersebut belum cukup menjawab kebutuhan mendesak yang dihadapi korban secara langsung di lapangan.
Ia menegaskan bahwa tolok ukur utama penentuan bantuan harus berorientasi pada tingkat keparahan penderitaan masyarakat terdampak, bukan hanya pada perspektif kelembagaan negara.
Editor: 91224 R-ID Elok

