Breaking Posts

-->
6/trending/recent

Hot Widget

-->
Type Here to Get Search Results !

Dandhy Laksono Bongkar Dalang di Balik Bencana Sumatra: Bukan Alam, Tapi Ini

 

Repelita Jakarta - Aktivis lingkungan sekaligus jurnalis investigasi Dandhy Dwi Laksono menegaskan bahwa serangkaian bencana banjir bandang dan longsor yang menimpa Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, serta kawasan lain di Asia Tenggara bukanlah murni bencana alam.

Menurutnya, peristiwa tersebut merupakan bencana buatan manusia yang disebabkan oleh keputusan politik, kelalaian terhadap deforestasi, serta perampasan hutan secara terstruktur.

Pernyataan tersebut diungkapkan Dandhy dalam wawancara podcast bersama dr. Richard Lee yang membahas krisis ekologis di Sumatra.

Dandhy menjelaskan bahwa banjir di Aceh dan Medan bukan hanya banjir air biasa, melainkan banjir kayu akibat penebangan liar.

“Ini bukan banjir air, tapi banjir kayu. Banjir logging. Kayu-kayu itu jelas ada tagging, ada nama PT. Itu bukan jatuh dari langit,” ungkap Dandhy.

Ia membandingkan kondisi ini dengan tsunami Aceh tahun 2004 yang merupakan bencana alam sepenuhnya.

Sementara itu, banjir saat ini adalah akibat kumulatif dari kerusakan lingkungan berkepanjangan.

“Tsunami Aceh itu natural disaster. Yang ini political disaster. Semua akibat keputusan politik,” tegasnya.

Dandhy juga mengkritik respons pemerintah yang terkesan lebih lambat dibandingkan penanganan tsunami 21 tahun lalu, di mana bantuan internasional datang cepat.

Kini, lebih dari sepuluh hari pascabencana, masih ada daerah yang belum tersentuh bantuan dan listrik belum menyala.

Dandhy merinci bahwa Indonesia mengalami lima fase deforestasi besar setelah kemerdekaan, semuanya didorong motif ekonomi dan politik.

Fase tersebut mencakup eksploitasi minyak dan gas pada 1950-an, penebangan berskala besar melalui hak pengusahaan hutan di akhir 1960-an hingga 1970-an, pertambangan batubara di 1980-an, perluasan perkebunan sawit monokultur sejak 1990-an hingga sekarang mencapai 17 juta hektare, serta tambang nikel untuk mendukung industri kendaraan listrik.

Tidak ada satu pun fase deforestasi besar yang dilakukan oleh masyarakat biasa atau komunitas adat.

“Tidak ada satu pun gelombang deforestasi besar itu dilakukan oleh rakyat. Semua highly regulated. Artinya, ini kerja perusahaan dengan izin negara,” katanya.

Bagi Dandhy, pelaku perampasan hutan bukan hanya korporasi, tapi juga negara yang menerbitkan izin.

“Kalau mau jujur, kita dirampok oleh pemerintah kita sendiri,” ujarnya.

Ia mengkritik sistem agraria yang mengklasifikasikan tanah tanpa sertifikat sebagai milik negara, sehingga merugikan masyarakat adat yang mengelola hutan secara turun-temurun tanpa dokumen resmi.

“Mana masyarakat adat punya kertas? Begitu tidak bisa menunjukkan surat, tanahnya dianggap tanah negara, lalu dibagi-bagi lewat HGU,” jelasnya.

Dandhy juga menyoroti konsentrasi penguasaan lahan oleh kalangan elite, termasuk presiden yang disebut mengendalikan ratusan ribu hektare melalui perusahaan terkait.

Aktivis lingkungan di Aceh telah mengirimkan 17 surat peringatan kepada pemerintah mengenai deforestasi di suaka margasatwa, dilengkapi bukti satelit, drone, dan koordinat GPS, namun semuanya tak digubris.

Peringatan BMKG tentang curah hujan ekstrem dan risiko bencana pun tidak ditanggapi dengan serius.

“Untuk apa ada BMKG kalau peringatannya tidak didengar?” tanyanya.

Menjawab asumsi bahwa perkebunan sawit tetap hijau karena ditanami ulang, Dandhy menekankan bahwa masalah utama adalah skala monokultur yang masif.

“Kalau 17 juta hektar itu diganti jengkol atau pete pun dampaknya sama. Yang merusak itu skalanya,” katanya.

Sawit bukan tanaman endemik Indonesia, haus air, berakar pendek, dan tak mampu menahan tanah di wilayah rentan banjir serta longsor.

Ketika ditanya periode pemerintahan mana yang paling destruktif terhadap hutan, Dandhy menyebut era Susilo Bambang Yudhoyono dengan kebijakan kehutanan yang diteruskan pada masa Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

“Ini pemerintahan yang berkelanjutan. Ganti presiden, kebijakannya tidak dikoreksi,” tuturnya.

Kerusakan lingkungan di Indonesia adalah akumulasi kebijakan ekstraktif jangka panjang tanpa perbaikan.

Dandhy yakin hutan lebih baik dikelola oleh masyarakat adat dan lokal ketimbang negara atau korporasi.

“Secara historis, masyarakat paling mampu menjaga hutan. Mereka tidak akan merusak kampungnya sendiri,” ujarnya.

Ia memperingatkan bahwa jika pola eksploitasi berlanjut, Indonesia akan menghabiskan cadangan alam, menuju kemiskinan sumber daya, krisis air, serta bencana ekologis abadi.

“Ini bukan film horor fiksi. Ini masa depan anak cucu kita,” tandasnya.

Hingga Sabtu 13 Desember 2025 pukul 18.08, korban meninggal dunia akibat banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, serta Sumatra Barat mencapai 1.006 jiwa.

Data dashboard BNPB mencatat 217 orang hilang serta ribuan luka-luka.

Kerusakan mencakup 158 ribu rumah, ribuan fasilitas umum, kesehatan, pendidikan, rumah ibadah, kantor, dan jembatan.

Sementara itu, Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Penegakan Hukum menyegel tiga pemegang hak atas tanah di Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu PHAT JAS, PHAT AR, dan PHAT RHS.

Tim juga melakukan verifikasi serta olah tempat kejadian perkara di lokasi PT TBS/PT SN serta PLTA BT/PT NSHE.

Total entitas yang ditindak mencapai 11, terdiri dari empat korporasi yaitu PT TPL, PT AR, PT TBS/PT SN, dan PLTA BT/PT NSHE, serta tujuh PHAT.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan dugaan pelanggaran berupa pemanenan hasil hutan tanpa izin, dengan ancaman pidana penjara hingga lima tahun dan denda miliaran rupiah.

Tim sedang mengumpulkan bukti untuk mengungkap jaringan pelaku serta dampak terhadap bencana hidrometeorologi.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

-->

Below Post Ad

-->

Ads Bottom

-->
Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved