Repelita Jakarta - Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat yang menewaskan enam anggota laskar Front Pembela Islam pada insiden di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek kini memasuki tahap baru dengan pengajuan resmi ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda.
Pengumuman tersebut disampaikan oleh tokoh agama Habib Rizieq Shihab sebagai pendiri dan pembina Yayasan Markaz Syariah melalui siaran langsung acara haul di kanal YouTube OfficialIslamicBrotherhoodTV.
Menurutnya, pendaftaran laporan tersebut telah dilakukan sejak bulan September tahun ini, dengan proses registrasi yang sudah selesai dan kini difokuskan pada penyempurnaan dokumen pendukung.
Laporan investigasi mengenai dugaan pelanggaran tersebut telah rampung disusun dan direncanakan akan diterjemahkan ke dalam dua bahasa untuk diserahkan kepada presiden, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, serta berbagai lembaga terkait di tanah air.
Habib Rizieq Shihab menambahkan bahwa selama lima tahun terakhir, upaya untuk menggelar sidang hak asasi manusia di wilayah domestik terus dilakukan namun selalu menemui hambatan karena berbagai akses ditutup rapat.
Oleh karena itu, kelompok advokat dari Persaudaraan Islam memutuskan untuk membawa isu ini ke pengadilan tingkat global sebagai langkah terakhir.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa tidak ada niat untuk merendahkan otoritas nasional, melainkan tetap menghargai seluruh mekanisme hukum yang ada di Indonesia.
“Kasus tragedi KM 50 sudah didaftarkan di Pengadilan Kriminal Internasional ICC pada bulan September lalu. Sudah dilaporkan ke Den Haag, sudah diregistrasi, hanya tinggal sekarang ini kita siapkan materinya,” ujar Habib Rizieq.
Dalam dokumen yang diajukan ke lembaga internasional tersebut, tercantum nama 26 pejabat negara yang diduga terlibat, dengan mantan presiden Joko Widodo atau Jokowi tercantum sebagai yang pertama.
“Lima tahun ini kita sudah berusaya bagaimana bisa digelar pengadilan HAM di dalam negeri. Tapi memang pintu-pintu itu tertutup. Jadi agak sulit sehingga lima tahun kita jatuh bangun,” urainya.
“Kami tidak lagi berharap untuk gelar pengadilan HAM di Indonesia, tapi tetap kami hormati pemerintah kita, kita hormati semua jalur-jalur hukum yang ada di Indonesia ini,” ujarnya.
Kasus ini kembali menjadi sorotan di tengah isu-isu hukum lain yang menyangkut masa kepemimpinan mantan presiden Jokowi, termasuk kontroversi dokumen pendidikan yang masih bergulir.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

