
Repelita Jakarta - Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan, mengkritik ancaman hukuman lima tahun penjara bagi seorang warga miskin di Gunung Kidul yang mengambil lima potong kayu untuk kebutuhan makan.
Menurutnya, kasus ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjalankan amanat konstitusi.
Penegakan hukum yang diterapkan dianggap tidak adil dan kurang memiliki rasa empati terhadap rakyat kecil.
“Penegakan hukum tajam ke bawah, bukan hal baru di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, uang dan kuasa menjadi panglima hukum. Bukan kebenaran dan keadilan,” katanya pada Kamis, 25 Desember 2025.
Kisah pria berinisial M tersebut menggugah hati nurani masyarakat.
Bukan hanya jeritan dari kaum miskin yang terdengar, melainkan juga dari mereka yang masih memiliki rasa kemanusiaan.
“Kisah pria Gunungkidul mengusik empati kita. Bukan saja si miskin yang menjerit, seperti penggalan lagu Black Brothers. Kita semua yang mempunyai empati pasti juga menjerit,” ujarnya.
Penerapan pasal pencurian pada kasus ini dinilai tidak tepat.
Yang diambil hanya lima potong kayu kecil, bukan material besar seperti yang sering menyebabkan kerusakan hutan di daerah rawan bencana.
“Mencuri seharusnya juga bukan kata yang tepat untuk Pria M. Mencuri dari siapa? Dari pemerintah? Dari negara?," tegasnya.
Anthony Budiawan merujuk pada Pasal 34 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang mewajibkan negara memelihara fakir miskin serta membangun sistem jaminan sosial bagi yang tidak mampu.
“Oleh karena itu, kalau ada rakyat miskin dan tidak mempunyai uang untuk makan, maka sudah menjadi tugas dan tanggung jawab konstitusi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai martabat kemanusiaan,” jelasnya.
Ia juga mengaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan penguasaan sumber daya alam oleh negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
“Mengambil lima potongan kayu yang tidak bertuan di bumi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan makan justru memenuhi maksud Pasal 33 ayat (3) UUD,” katanya.
Tindakan tersebut bukan kejahatan, melainkan naluri bertahan hidup yang selaras dengan semangat konstitusi.
“Artinya, mengambil lima potongan kayu sejatinya bukan merupakan kejahatan, tetapi sebagai insting survival bagi manusia,” tambahnya.
Sebaliknya, ironi muncul ketika pengusaha besar menguasai lahan luas dengan fasilitasi negara dan menjadi kaya raya tanpa mempedulikan rakyat kecil.
“Mereka kemudian menjadi orang-orang terkaya di bumi Indonesia, bumi yang sudah tidak ada empati bagi rakyat jelata dan rakyat miskin,” ucapnya.
Penegak hukum seharusnya mengedepankan rasa empati sebelum menjerat rakyat miskin dengan pasal pidana.
“Kalau penegak hukum melaksanakan tugasnya dengan rasa penuh empati, seharusnya mereka menanyakan apakah benar Pria M tersebut begitu miskin dan tidak mempunyai uang untuk makan,” katanya.
Jika terbukti, aparat seharusnya melaporkan ke pemerintah daerah agar negara memenuhi kewajibannya, bukan membawa ke proses pidana.
Anthony Budiawan menyarankan penegak hukum belajar dari praktik peradilan berbasis empati seperti yang dicontohkan hakim Frank Caprio di Amerika Serikat.
“Mereka harus bertanya-tanya, apa yang akan mereka lakukan kalau menjadi Pria M?,” kuncinya.
Editor: 91224 R-ID Elok

