Breaking Posts

-->
6/trending/recent

Hot Widget

-->
Type Here to Get Search Results !

Amnesty: 2025 Jadi Tahun Malapetaka HAM Indonesia Terburuk Sejak Reformasi

 HAM Indonesia Alami Erosi Terparah Sejak Reformasi, 2025 Jadi Tahun Malapetaka

Repelita Jakarta - Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa tahun 2025 menjadi bencana nasional bagi hak asasi manusia di tanah air.

Kondisi perlindungan HAM mengalami kemunduran terburuk sejak masa Reformasi berlangsung.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai kemunduran ini disebabkan oleh prioritas kebijakan ekonomi yang bahkan melibatkan penggundulan hutan secara luas.

Kebijakan semacam itu merampas hak hidup masyarakat adat serta menutup partisipasi publik yang substansial.

Sepanjang periode Januari hingga Desember 2025, berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya semakin marak terjadi.

Pelanggaran tersebut mencakup pemotongan anggaran yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.

Usman Hamid menjelaskan bahwa akar masalah terletak pada penyalahgunaan wewenang serta kebijakan yang menjauhkan negara dari prinsip keadilan sosial bagi seluruh bangsa.

“Tahun ini pun ditutup oleh buruknya reaksi penanganan bencana ekologis di Sumatra yang mempertontonkan ketidakmampuan pemerintah menghadapi krisis kemanusiaan, bahkan mencerminkan watak represif seperti terlihat dalam kekerasan militer di Aceh baru-baru ini,” kata Usman dalam catatan akhir tahun pada Senin, 29 Desember 2025.

Ketika masyarakat menyampaikan protes, pejabat negara cenderung mengabaikan aspirasi rakyat dan tetap melanjutkan agenda mereka.

Mereka sering mengeluarkan pernyataan sembrono serta melakukan penangkapan dan penahanan secara massal.

Usman Hamid menegaskan bahwa negara telah lalai menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya baik dalam situasi biasa maupun darurat.

Negara juga mengesampingkan kewajiban utama untuk menjaga hak asasi setiap warga.

Tahun 2025 dipenuhi oleh kekerasan yang melibatkan aparat negara, ketidakadilan sosial, serta kebijakan pro-deforestasi yang mengorbankan kepentingan rakyat kecil.

“Malapetaka ini adalah akibat pemerintah saat ini yang anti-kritik, senang melontarkan narasi kontroversial, dan membungkam aspirasi yang berkembang di masyarakat,” tegas Usman.

Sepanjang tahun tersebut, sikap anti-kritik negara terlihat jelas dalam menghadapi gelombang demonstrasi terkait revisi undang-undang TNI, hak pekerja, proyek strategis nasional, serta tunjangan anggota legislatif yang terjadi pada Maret, Mei, hingga Agustus 2025.

Daripada membuka dialog dan menyelesaikan isu seperti pemutusan hubungan kerja massal serta dampak efisiensi anggaran, aparat justru bertindak represif dan meremehkan keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan.

Beberapa regulasi yang paling bermasalah tahun ini meliputi penaikan pajak di awal tahun, pengesahan revisi Undang-Undang TNI pada akhir kuartal pertama, serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di akhir tahun.

Banyak ketentuan dalam KUHAP baru berpotensi membenarkan pelanggaran hak warga serta membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh penegak hukum.

“Watak otoriter pemerintah dan DPR terlihat dalam proses penyusunan kebijakan yang tanpa hikmah musyawarah seperti RUU TNI dan RKUHAP ini. Yang lebih mengerikan ke depan adalah implementasi dari KUHAP baru ini yang mengancam hak asasi manusia,” tutur Usman.

Tanpa adanya perbaikan, penangkapan arbitrary serta tindakan paksa lainnya diprediksi akan semakin sering terjadi.

“Tahun ini saja, 5.538 orang ditangkap secara sewenang-wenang, disiksa, dan terkena gas air mata hanya karena berdemonstrasi,” jelas Usman.

Amnesty International Indonesia juga menemukan penggunaan granat gas air mata berbahan peledak yang berisiko menyebabkan cacat permanen pada aksi akhir Agustus 2025.

Alih-alih melakukan evaluasi, Kapolri justru mengeluarkan Peraturan Kapolri 4/2025 yang melonggarkan ketentuan pemakaian senjata api.

Negara memilih menstigma demonstran sebagai anarkis, penghasut, atau teroris serta mengadili beberapa aktivis tertentu.

“Ini taktik klasik meredam kritik. Mereka yang bersuara kritis dipenjarakan dan disalahkan atas kerusuhan akhir Agustus, sementara negara gagal mengusut siapa sesungguhnya pelaku kerusuhan tersebut,” ucap Usman.

Represi berlanjut secara terstruktur terhadap aktivis dan pembela hak asasi manusia.

Sepanjang 2025, tercatat 283 pembela HAM menjadi korban serangan melalui kriminalisasi, penangkapan, pelaporan polisi, hingga ancaman nyawa.

Mayoritas korban berasal dari kalangan jurnalis sebanyak 106 orang serta masyarakat adat sebanyak 74 orang.

Beberapa kasus akhir tahun menunjukkan pola serupa, seperti kekerasan terhadap 33 warga adat Sihaporas di Simalungun yang melukai banyak perempuan, laki-laki, dan anak berkebutuhan khusus pada September.

Kemudian penangkapan dua aktivis lingkungan pada November serta penahanan ketua adat di Kalimantan Barat pada Desember setelah mengkritik deforestasi.

Larangan acara bedah buku di Madiun pada 20 Desember 2025 juga menjadi contoh kekerasan aparat.

“Mereka yang lantang membela lingkungan dan tanah ulayat dibungkam lewat intimidasi dan kriminalisasi. Ini adalah upaya sistematis untuk menutupi kegagalan negara dalam mengelola kekayaan alam berlandaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya,” beber Usman.

Situasi semakin suram dengan penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional serta revisi narasi sejarah yang meniadakan fakta pelanggaran HAM masa lalu.

Tahun 2025 juga mencatat ekspansi peran militer ke bidang sipil melalui revisi UU TNI.

Meski ada putusan Mahkamah Konstitusi yang membatasi penugasan polisi di luar tugas kepolisian, diikuti penerbitan peraturan baru.

“Penyimpangan peran, fungsi, dan wewenang dua alat negara itu berpotensi mengembalikan mereka sebagai alat represi seperti yang terlihat sepanjang 2025,” jelas Usman.

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

-->

Below Post Ad

-->

Ads Bottom

-->
Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved