Repelita Jakarta - Pencabutan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang sempat melegalkan operasi pertambangan di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, kini memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat setempat.
Pemerintah tengah menghadapi situasi rumit di mana kegiatan penambangan nikel di wilayah tersebut ternyata memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi penduduk sekitar.
Ratusan orang yang tergabung dalam kelompok Aliansi Wawonii Bergerak pun mengadakan demonstrasi di depan gedung Kementerian Kehutanan di ibu kota, tepatnya pada hari Rabu tanggal 12 November 2025.
Para pendemo menuntut agar otoritas segera menemukan jalan keluar terkait konsekuensi sosial dan finansial yang muncul pasca penghentian aktivitas produksi oleh PT Gema Kreasi Perdana, perusahaan yang mengelola tambang nikel di pulau tersebut.
Melalui deklarasi sikap mereka, kelompok aksi ini mendesak Kementerian Kehutanan untuk merancang tindakan bijaksana, seperti mempertimbangkan pemberian lisensi baru atau regulasi spesial yang memungkinkan PT Gema Kreasi Perdana melanjutkan usahanya di bidang pertambangan.
Penanggung jawab demonstrasi, Devan, menyatakan bahwa kehadiran perusahaan itu selama ini telah membawa pengaruh baik bagi kesejahteraan ekonomi warga di sekitar lokasi.
“Kami datang jauh-jauh ke Jakarta untuk mencari keadilan. Sejak GKP beroperasi, warung, rumah kos, dan usaha kecil tumbuh pesat. Setelah kegiatan tambang dihentikan, banyak usaha tutup dan pendapatan warga menurun. Kami bingung bagaimana harus bertahan hidup,” ujar Devan di lokasi aksi, dikutip dari siaran pers, Jumat (14/11/2025).
Aliansi tersebut juga menekankan agar pemerintah memperlancar proses penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan beserta dokumen perizinan terkait lainnya untuk kegiatan penambangan.
Bagi mereka, kecepatan dalam mengurus perizinan menjadi krusial supaya aliran investasi di industri tambang tidak terhambat, sehingga masyarakat bisa kembali menikmati sumber penghasilan yang stabil.
“Kami datang bukan untuk membela perusahaan, tetapi untuk mencari solusi dan keadilan. Kami butuh pekerjaan dan keberlanjutan ekonomi di daerah kami. Hidup di pulau kecil itu berat, butuh intervensi pemerintah untuk membangun semua aspek,” tambah Devan.
Dalam pidato mereka, para demonstran menguraikan bahwa PT Gema Kreasi Perdana sudah menjalankan operasinya selama kurang lebih lima tahun di Wawonii sebelum Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutannya dibatalkan, dan mereka menegaskan bahwa perusahaan tersebut telah menerapkan metode penambangan yang ramah lingkungan, seperti upaya pemulihan lahan serta dukungan pembangunan sarana dasar seperti jalur transportasi pedesaan.
Sementara itu, saat pertemuan dengan delegasi dari Direktorat Planologi di Kementerian Kehutanan, pihak kementerian menyampaikan bahwa pembatalan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk PT Gema Kreasi Perdana didasarkan pada vonis Mahkamah Agung yang mengabulkan tuntutan dari sebagian penduduk terhadap praktik tambang itu.
“Pencabutan izin dilakukan sesuai putusan MA. Awalnya, gugatan itu memang diajukan oleh warga,” ujar Faisal, perwakilan Direktorat Planologi Kementerian Kehutanan, di hadapan peserta audiensi.
Akan tetapi, seorang penduduk bernama Rio Labarase dari Desa Roko-roko di Kabupaten Konawe Kepulauan menanggapi bahwa pernyataan dari Sahidin selaku Wakil Ketua DPRD Konawe Kepulauan justru membuat masyarakat semakin kebingungan.
“Kalau memang ada pencemaran lingkungan seperti yang dikatakan Pak Sahidin, faktanya PT GKP dua tahun berturut-turut mendapat penghargaan lingkungan dan tetap melaksanakan reklamasi. Perusahaan juga banyak membantu kesejahteraan masyarakat,” ujar Rio.
Dia melanjutkan bahwa eksistensi PT Gema Kreasi Perdana telah meningkatkan fasilitas desa, termasuk perbaikan jalan dan pendirian menara sinyal telekomunikasi.
“Masyarakat bisa merasakan manfaat masuknya investasi di sana. Sinyal dan listrik baru tersedia ketika perusahaan ini mulai beroperasi,” tutup Rio.
Sampai saat ini, otoritas belum merilis keputusan anyar mengenai perizinan tambang di Pulau Wawonii, dan warga mengharapkan agar Kementerian Kehutanan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bisa menemukan kompromi yang memastikan roda ekonomi masyarakat tetap bergulir tanpa mengabaikan upaya pelestarian alam.
Alasan dibalik pembatalan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan di Pulau Wawonii adalah karena Kementerian Kehutanan secara resmi membatalkan dokumen yang sebelumnya membolehkan kegiatan pertambangan di sana.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan di kementerian tersebut, Ade Triaji Kusumah, menuturkan bahwa langkah ini diambil setelah Mahkamah Agung memutuskan untuk mendukung tuntutan masyarakat dalam membatalkan surat keputusan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan itu.
"Pencabutan PPKH di Pulau Wawonii bukan karena izin bidangnya dicabut, tetapi karena ada putusan Mahkamah Agung,” kata Ade dalam siaran pers, Selasa (17/6/2025).
Beliau menguraikan bahwa mekanisme perizinan untuk tambang di area hutan merupakan tahap akhir yang baru bisa dilaksanakan setelah pemilik izin memenuhi beragam ketentuan dasar dari instansi terkait.
Persetujuan atas penggunaan kawasan hutan hanya akan dikeluarkan setelah perusahaan memperoleh Izin Usaha Pertambangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau pemerintahan lokal melalui dinas terkait.
Selanjutnya, diperlukan persetujuan dari pemimpin daerah seperti gubernur atau bupati, ditambah dengan izin lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup atau unit daerah yang menangani hal tersebut.
"Jika seluruh syarat tersebut terpenuhi, barulah Kementerian Kehutanan memberikan persetujuan penggunaan kawasan hutan," katanya.
Ade juga menjelaskan bahwa persetujuan yang pernah diberikan sudah disertai dengan tanggung jawab teknis, misalnya pengaturan batas area operasi agar tidak melampaui wilayah yang diizinkan serta penyusunan rencana pengelolaan areal kerja.
Di samping itu, pemegang lisensi diwajibkan untuk melakukan pemulihan lahan setelah tambang selesai, dengan jaminan dana melalui mekanisme di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta tugas merehabilitasi daerah aliran sungai dan membayar penerimaan negara bukan pajak ke sektor kehutanan.
"Karena izin utama dari sektor pertambangan telah dicabut, maka secara otomatis persetujuan penggunaan kawasan hutan juga dihentikan, sesuai dengan prinsip legalitas yang berlaku," ujar Ade.
Mengenai demonstrasi dari masyarakat Pulau Wawonii, Ade menganggap bahwa gerakan itu adalah wujud pengawasan masyarakat yang legitimate, apalagi jika terdapat pelanggaran seperti melewati batas wilayah, kekurangan dokumen, atau ketidakpatuhan terhadap aturan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

