
Repelita Jakarta - Rencana ini akan dimasukkan ke dalam draf Undang-Undang mengenai Perubahan Nilai Rupiah yang ditargetkan selesai pada tahun 2027, dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.
Isu pemerintah untuk memangkas tiga angka nol pada mata uang rupiah atau yang dikenal sebagai redenominasi kini muncul lagi dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian Keuangan untuk periode 2025 hingga 2029 melalui aturan menteri keuangan nomor 70 tahun 2025 yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Meskipun demikian, gagasan tersebut menuai kritik keras dari kalangan pakar ekonomi di perguruan tinggi.
Seorang analis ekonomi dari Universitas Lampung bernama Yoke Muelgini menyatakan bahwa kebijakan semacam itu saat ini terasa tidak masuk akal dan belum diperlukan sama sekali.
“Itu cuma isu yang tidak bertanggung jawab. Kondisi moneter dan keuangan kita masih belum siap untuk redenominasi,” tegas Yoke, saat dimintai tanggapan oleh Lampung Geh, Kamis (13/11).
Beliau berpendapat bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih mengandalkan transaksi dengan uang fisik, sehingga penerapan redenominasi berisiko menimbulkan kekacauan serta mengancam kestabilan perekonomian secara keseluruhan.
“Redenominasi itu bukan kebutuhan mendesak karena 90 persen penduduk Indonesia masih menggunakan uang kertas dan koin. Jika dilakukan sekarang, akan menimbulkan kebingungan, inflasi, dan gangguan di sektor moneter maupun fiskal,” ujarnya.
Berdasarkan pandangan Yoke, proses redenominasi hanya layak dilakukan apabila masyarakat telah terbiasa sepenuhnya dengan mekanisme pembayaran berbasis digital di berbagai lapisan kehidupan sehari-hari.
“Dalam 10 tahun ke depan, redenominasi tidak akan terjadi kecuali rakyat sudah memakai uang digital,” katanya.
Dari perspektif regional, Yoke pun menyoroti tingkat kesiapan warga serta pelaku usaha di wilayah Lampung, di mana kondisi sosial dan ekonomi di tingkat dasar masih menunjukkan ketidakmampuan untuk menghadapi perubahan pada denominasi mata uang tersebut.
“Lampung bisa jadi contoh mikro ketidaksiapan masyarakat menghadapi redenominasi. Mereka tidak memikirkan soal itu. Yang mereka pikirkan mengapa perekonomian dan bisnis semakin buruk, cari rejeki semakin sulit, korupsi di mana-mana dan pemerintah tidak bisa apa-apa,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa diskusi tentang redenominasi sebaiknya bukan menjadi agenda utama bagi pemerintah di tengah berbagai persoalan ekonomi yang masih membebani negara saat ini.
“Belum saatnya redenominasi diwacanakan, apalagi direalisasikan sekarang. Itu cuma omon-omon belaka,” pungkas Yoke.
Situs resmi Bank Indonesia menerangkan bahwa redenominasi hanyalah upaya untuk menyederhanakan cara penulisan nilai uang serta harga komoditas tanpa memengaruhi nilai intrinsiknya, misalnya uang seratus ribu rupiah akan berubah menjadi seratus rupiah tetapi kemampuan belinya tetap setara.
Gagasan tentang redenominasi rupiah sebenarnya bukan merupakan hal yang baru muncul belakangan ini.
Konsep tersebut telah diusulkan sejak tahun 2013 pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan pernah pula dibicarakan kembali selama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kini, Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Purbaya Yudhi Sadewa kembali mengaktifkan rencana itu melalui kerangka strategis untuk tahun 2025 sampai 2029.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

