Repelita New York - Kemenangan Zohran Mamdani sebagai wali kota New York City menarik perhatian nasional karena ia menjadi Muslim dan keturunan Asia Selatan pertama yang menduduki jabatan tersebut.
Setelah hasil pemilu diumumkan, sejumlah politikus, termasuk mantan Presiden Donald Trump, mempertanyakan status kewarganegaraannya dan bahkan mengusulkan pencabutan kewarganegaraan.
Trump dan beberapa anggota Partai Republik menuding Mamdani memperoleh kewarganegaraan melalui penyembunyian fakta atau informasi palsu terkait dugaan terorisme, serta menyatakan pandangan politiknya sebagai alasan bahaya bagi kota.
Anggota DPR Andy Ogles melalui surat kepada Jaksa Agung Pam Bondi pada 26 Juni 2025 meminta Departemen Kehakiman menyelidiki kemungkinan pencabutan kewarganegaraan Mamdani, sementara ia juga menulis di X bahwa Zohran Mamdani adalah sosialis, komunis, dan antisemit yang harus dideportasi.
Kebijakan denaturalisasi, yang memungkinkan pencabutan kewarganegaraan warga naturalisasi, dihidupkan kembali oleh pemerintahan Trump untuk kasus yang dianggap mengancam keamanan nasional, termasuk pelaku kejahatan atau teroris.
Kelompok pembela hak sipil menilai kebijakan ini berbahaya karena menggunakan proses perdata dengan beban pembuktian rendah tanpa jaminan pengacara, dan bisa mengabaikan Amandemen Keempat Belas yang melindungi hak warga negara.
Sejarawan dan pakar hukum menekankan bahwa denaturalisasi hanya sah secara hukum bila terbukti warga naturalisasi dengan sengaja menyembunyikan fakta penting atau berbohong dalam proses naturalisasi, serta kebohongan tersebut akan mengubah hasil naturalisasi jika terungkap saat itu.
Dalam praktiknya, prosedur pencabutan kewarganegaraan biasanya diterapkan pada pelaku kejahatan berat, mantan anggota rezim Nazi, teroris, atau penipuan besar dalam proses imigrasi, sehingga tuduhan terhadap Mamdani yang berbasis pandangan politik hampir mustahil menjadi alasan hukum yang sah.
Ancaman terhadap Mamdani menimbulkan perdebatan tentang makna kewarganegaraan di Amerika, serta menyoroti ketegangan antara hak individu warga naturalisasi dan politik nasional yang memanfaatkan isu imigrasi untuk kepentingan kekuasaan.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan moral dan hukum: apakah kewarganegaraan adalah hak yang tak tergantikan atau bisa dicabut demi alasan politik tertentu.
Situasi ini menempatkan masa depan jutaan warga naturalisasi dan kredibilitas demokrasi Amerika dalam posisi yang rawan dan menjadi ujian bagi prinsip kesetaraan dalam hak kewarganegaraan. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

