
Repelita Jakarta - Ekonom Yanuar Rizky menegaskan bahwa wacana penyederhanaan penulisan mata uang atau redenominasi selalu muncul ketika nilai tukar rupiah mengalami tekanan tajam terhadap dolar AS.
Ia menjelaskan, ide redenominasi bukan hal baru. Bank Indonesia pertama kali menyampaikan wacana ini kepada DPR RI sekitar tahun 2007, saat krisis subprime mortgage global menekan nilai tukar rupiah.
“Karena waktu itu ada tekanan terhadap rupiah, BI menyatakan dua hal yang harus diperbaiki, pertama devisa hasil ekspor harus masuk dan kedua redominasi,” ujarnya dikutip dari siniar Forum Keadilan TV, Senin 17 November 2025.
Yanuar menuturkan, pada periode tersebut rupiah terus melemah terhadap dolar AS sehingga kebijakan redenominasi mulai menjadi sorotan. Ia mencontohkan perhitungan nilai tukar yang bergejolak membuat spekulasi terhadap rupiah meningkat.
Menurut Yanuar, wacana redenominasi hampir selalu muncul saat rupiah berada di bawah tekanan signifikan. Ia menyoroti periode 2016 dan 2017, serta 2023, ketika rencana ini kembali dibahas walau sempat terhenti.
Ia mengingatkan, pemerintah sebelumnya pernah menyetujui kebijakan ini pada tahun 2011 di era Presiden SBY melalui program MP3EI. Persetujuan itu dilakukan dengan catatan kesiapan masyarakat dan komunikasi terkait persepsi redenominasi harus disiapkan dengan matang.
Kini pemerintah tampak serius menindaklanjuti rencana redenominasi, tercatat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 yang mempersiapkan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Harga Rupiah.
Dalam rancangan tersebut, nominal rupiah akan disederhanakan, misalnya Rp1.000 menjadi Rp1, dengan target pengesahan pada 2027. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa wewenang pelaksanaan redenominasi berada di Bank Indonesia.
Redenominasi dipandang bukan sekadar penghilangan nol, tetapi sebagai langkah strategis memperkuat daya saing ekonomi, meningkatkan efisiensi transaksi, dan menjaga stabilitas rupiah dalam jangka panjang.
Paragraf terakhir menegaskan bahwa kebijakan ini selalu muncul sebagai respons terhadap tekanan nilai tukar dan menjadi instrumen penting pemerintah untuk menjaga kestabilan ekonomi.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

