
Repelita Jakarta - Pegiat media sosial Jhon Sitorus menyoroti langkah pemerintah yang menetapkan Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai pahlawan nasional.
Penganugerahan tersebut diberikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan pada Senin, 10 November 2025.
Melalui akun X @jhonsitorus_19 pada tanggal yang sama, Jhon menganggap keputusan itu sarat unsur nepotisme karena adanya hubungan keluarga di balik pemberian gelar kehormatan tersebut.
Suami istri jadi pahlawan? tulis Jhon dalam unggahannya.
Ia menambahkan, setelah Soeharto menyandang gelar pahlawan nasional, status itu kini sejajar dengan istrinya, Siti Hartinah atau Ibu Tien, yang lebih dulu memperoleh gelar serupa.
Bu Tien diangkat oleh suaminya jadi pahlawan, Soeharto diangkat oleh menantunya jadi pahlawan, lanjut Jhon.
Menurut Jhon, gelar pahlawan nasional kini tak lebih dari simbol politik yang dimanfaatkan oleh penguasa untuk memperkuat citra kekuasaan.
Baik-baik kalian yang sudah terlanjur berkuasa, bodo amat soal korupsi, nepotisme dan pelanggaran HAM. Pertahankan kekuasaan, bonusnya gelar pahlawan. Hidup Jokowi, tulisnya menutup pernyataan.
Sementara itu, Juru Bicara PDIP Mohamad Guntur Romli juga menilai bahwa langkah mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional sangat tidak masuk akal.
Aku kok ngelihat negara ini semakin aneh ya, semakin gak ngerti, kata Guntur lewat unggahannya di Threads pada 9 November 2025.
Ia mengingatkan bahwa Mahkamah Agung pernah memutuskan Soeharto dan ahli warisnya wajib mengganti kerugian negara sebesar Rp4,4 triliun akibat penyalahgunaan dana Yayasan Supersemar.
Orang seperti Soeharto yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Agung harus membayar ganti rugi Rp4,4 triliun karena terbukti korupsi melalui yayasan Supersemar, tegas Guntur.
Guntur menjelaskan, dari satu yayasan saja negara sudah dirugikan triliunan rupiah, sementara keluarga Soeharto diketahui memiliki banyak yayasan lain.
Padahal Soeharto dan keluarganya punya ratusan yayasan. Dari satu yayasan saja harus mengganti rugi Rp4,4 triliun. Gimana dengan yayasan-yayasan yang lain? Lah, sudah terbukti nyuri duit negara, duit rakyat. Tapi kok malah mau dikasih gelar pahlawan? ujar Guntur.
Ia juga menyinggung catatan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa pemerintahan Orde Baru, yang telah diakui pemerintah pada era Presiden Joko Widodo tahun 2023.
Sudah ditetapkan ada 12 pelanggaran HAM berat di zaman Soeharto. Dan Soeharto lah yang bertanggung jawab dari peristiwa pembantaian 65-66, Tanjung Priuk, Talang Sari, Petrus, hingga penghilangan paksa para aktivis, kata Guntur.
Menurutnya, korban dari berbagai peristiwa itu sangat banyak, termasuk kalangan ulama.
Kiai-Kiai di Banyuwangi, yang disebut Dukun Santet, jumlahnya ratusan ribu hingga jutaan rakyat Indonesia. Dan yang paling bertanggung jawab yaitu Soeharto, lanjutnya.
Guntur mempertanyakan logika pemberian gelar pahlawan kepada sosok yang dianggap bertanggung jawab atas penderitaan rakyat dan kerusakan demokrasi.
Kok malah mau diberi gelar pahlawan? Jadi orang yang membunuh rakyatnya sendiri dari ratusan ribu hingga jutaan itu mau dikasih gelar pahlawan, katanya.
Ia juga mengingatkan peran mahasiswa dan masyarakat yang menggulingkan Soeharto pada tahun 1998, menilai bahwa pemberian gelar tersebut bisa mencederai semangat reformasi.
Bagaimana dengan mahasiswa dan masyarakat yang menggulingkan Soeharto pada tahun 1998? Apakah mereka akan menjadi pengkhianat karena orang yang diturunkan oleh mereka malah diberi gelar pahlawan? ujar Guntur.
Jadi aku semakin gak mengerti dengan negara ini. Pencuri duit rakyat, pencuri duit negara, pembantai rakyatnya sendiri, kok malah mau diberi gelar pahlawan? tutup Guntur.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

