Repelita Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menegaskan rencana pemerintah memperpanjang jalur kereta cepat Whoosh hingga Banyuwangi, Jawa Timur.
Dalam sambutannya saat meresmikan Stasiun Tanah Abang Baru di Jakarta pada Selasa, 4 November 2025, Prabowo menyatakan tekad untuk melanjutkan proyek tersebut sebagai upaya memperluas jangkauan transportasi modern di Pulau Jawa.
“Insyaallah, saya minta tak hanya sampai Surabaya, tapi hingga Banyuwangi. Surabaya itu zaman dulu, sekarang Banyuwangi,” ucap Prabowo di hadapan tamu undangan.
Rencana tersebut disampaikan di tengah sorotan publik terkait beban utang besar yang ditanggung proyek kereta cepat. Namun Prabowo memastikan tidak ada persoalan serius dalam pembangunan Whoosh dan menegaskan pemerintah akan menanggung seluruh tanggung jawabnya.
“Enggak usah khawatir ribut-ribut Whoosh. Saya sudah pelajari masalahnya. Tidak ada masalah, saya tanggung jawab nanti whoosh semuanya,” ujarnya disambut tepuk tangan para hadirin.
Prabowo menjelaskan bahwa pembayaran utang proyek kepada China akan dicicil sekitar Rp 1,2 triliun per tahun. Ia juga menegaskan bahwa proyek ini harus dipandang sebagai investasi jangka panjang dengan manfaat sosial dan ekonomi, bukan semata dari sisi keuntungan finansial.
Wacana memperpanjang jalur kereta cepat ke Banyuwangi merupakan pengembangan baru dari rencana sebelumnya di era Presiden Joko Widodo yang hanya menargetkan jalur hingga Surabaya.
Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung sendiri pertama kali digagas pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui studi kelayakan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2014.
Kala itu Jepang menawarkan skema pembangunan hingga Surabaya dengan biaya sekitar 6,2 miliar dolar AS. Namun setelah melalui proses lelang, Indonesia akhirnya memilih tawaran dari China yang menilai proyek sebesar 5,5 miliar dolar AS dengan komposisi kepemilikan 60 persen oleh BUMN Indonesia dan 40 persen oleh pihak China.
Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai rencana memperpanjang jalur hingga Surabaya bahkan Banyuwangi bisa membebani keuangan negara. Menurutnya, kebutuhan transportasi di Pulau Jawa sudah relatif terpenuhi, sehingga proyek tambahan berpotensi tumpang tindih dengan moda yang telah ada.
Ia mencontohkan pengalaman negara maju seperti Korea Selatan dan sejumlah negara Eropa, di mana pembangunan kereta cepat dilakukan secara selektif untuk menggantikan transportasi udara, bukan menambah jenis transportasi di jalur yang sama.
“Jadi mesti pilih. Kita enggak semuanya diakomodir. Ada kereta cepat, ada kereta sedang, nanti ada jalan tol. Boros kita itu,” ujar Djoko.
Sementara Tenaga Ahli Pusat Pengujian, Pengukuran, Pelatihan, Observasi dan Layanan Rekayasa Universitas Indonesia (POLAR UI), Andyka Kusuma, berpendapat bahwa proyek ini tetap bisa dilanjutkan jika memiliki dampak ekonomi yang kuat.
Menurutnya, perpanjangan jalur Whoosh hingga Banyuwangi dapat membuka pasar baru, terutama bagi kalangan profesional dan pelaku bisnis yang membutuhkan mobilitas tinggi dengan akses internet selama perjalanan.
“Karena orang trennya sekarang itu kan bisa meeting dari mana aja. Kalau di udara sinyal hilang, kalau di darat masih bisa kerja. Jadi memang marketnya ada,” ujar Andyka pada Jumat, 7 Oktober 2025.
Namun, Andyka mengingatkan bahwa proses restrukturisasi utang proyek dengan pihak China harus diselesaikan lebih dulu sebelum memperluas rute ke wilayah timur.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menambahkan, pemerintah harus menghindari kesalahan masa lalu seperti pada proyek Whoosh Jakarta–Bandung yang disebutnya terlalu terburu-buru dan minim kajian kelayakan mendalam.
“Kita enggak boleh ulangi itu lagi. Jadi, feasibility study-nya harus serius. Kalau memang belum layak dilakukan sekarang, ya jangan dilakukan dulu,” kata Wijayanto.
Menurutnya, jika kondisi fiskal nasional belum memungkinkan, maka proyek perpanjangan Whoosh ke Banyuwangi sebaiknya dijadikan rencana jangka panjang agar tidak menimbulkan kesan Jawa-sentris.
“Fiskal kita ke depan akan berat. Selain itu, harus dilihat juga aspek keadilan bagi wilayah lain di luar Jawa,” ujarnya.
Djoko Setijowarno menilai langkah yang lebih realistis saat ini adalah memperkuat jalur kereta konvensional dengan meningkatkan kecepatannya. Menurutnya, mempercepat kereta reguler hingga 120 kilometer per jam akan memberikan manfaat nyata tanpa menambah beban fiskal negara.
“Yang dibutuhkan di Jawa itu angkutan umum perkotaan dan pedesaan. Reaktivasi rel itu jauh lebih baik,” kata Djoko.
Ia menambahkan, Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga pembangunan transportasi tidak seharusnya hanya terpusat di Jawa. Percepatan infrastruktur sebaiknya mulai diarahkan ke luar Jawa agar manfaatnya lebih merata bagi seluruh daerah di Indonesia.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

