Repelita Jakarta - Dalam penjelasan terbaru di Gedung DPR RI pada Selasa, 18 November 2025, Wakil Ketua Komisi III Habiburokhman menyampaikan bahwa kasus hukum yang melibatkan Roy Suryo dan sejumlah tokoh lainnya berpotensi diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif apabila menggunakan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang baru.
Pernyataan tersebut merujuk pada status hukum Roy Suryo dan rekan-rekannya yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan pencemaran nama baik terkait tuduhan palsu terhadap keabsahan ijazah akademik Presiden Joko Widodo.
Habiburokhman menggambarkan bahwa para tersangka kini terjebak dalam penerapan aturan KUHAP lama, yang menurutnya membuka celah terjadinya tindakan sewenang-wenang dalam proses penahanan karena minimnya syarat objektif dan perlindungan hak tersangka.
Dalam konferensi pers itu, ia menegaskan bahwa dengan KUHAP versi terbaru, penahanan akan jauh lebih sulit dilakukan karena memerlukan dasar pertimbangan yang ketat dan berbasis bukti yang konkret untuk memastikan proses hukum tidak disalahgunakan.
Ia menyatakan bahwa dalam konteks aturan baru, figur seperti Roy Suryo cs mustahil ditahan jika mereka bersikap kooperatif, tidak melarikan diri, serta bersedia mengikuti seluruh tahapan penyidikan tanpa hambatan dari aparat penegak hukum.
Habiburokhman menyebut bahwa revisi KUHAP mendesak untuk segera disahkan agar praktik-praktik sewenang-wenang yang diwariskan rezim masa lalu dapat dihentikan dan tidak lagi menimbulkan korban-korban yang dirugikan secara prosedural dalam penegakan hukum.
Ia mencontohkan kasus yang dialami Eggy Sudjana sebagai salah satu figur yang dirasa menjadi korban dari standar hukum proses pidana versi lama, sehingga pengesahan KUHAP baru merupakan kebutuhan mendesak untuk memberikan payung hukum yang lebih adil.
Selain itu, Habiburokhman memaparkan bahwa dalam rancangan KUHAP baru, status tersangka hanya dapat dikenakan setelah terpenuhinya dua alat bukti yang sah dan penangkapan atau penahanan harus memenuhi kriteria objektif serta persetujuan pengadilan.
Dalam pandangannya, perubahan ini sangat penting untuk memastikan setiap proses penegakan hukum tetap menjunjung asas kehati-hatian dan tidak melanggar prinsip dasar hak asasi manusia dalam penanganan perkara pidana.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

