Repelita Jakarta - Penulis dan pakar pendidikan nasional Darmaningtyas mengritik keras pernyataan lama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia yang membela pembabatan hutan dan eksploitasi tambang sebagai jalan menuju kemajuan negara.
Ia menunjukkan banjir dahsyat di Sumatera Utara sebagai bukti nyata bahwa kerusakan lingkungan akibat aktivitas tersebut justru membawa malapetaka bagi rakyat.
“Itu lho Sumut banjir karena hutan banyak dibabat, masih mau ngeles?” tulis Darmaningtyas melalui akun X-nya pada Sabtu, 29 November 2025.
Darmaningtyas menyarankan pemerintah belajar dari negara maju yang kini melarang praktik serupa karena menyadari dampak buruknya terhadap alam dan kehidupan manusia.
“Karena kita blajar dari negara maju bahwa babat hutan dan keruk tambang itu kesalahan besar,” tegasnya dalam unggahan yang sama pada 29 November 2025.
Ia juga menyindir pejabat dan pengusaha yang seenaknya merusak hutan demi keuntungan pribadi tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang bagi generasi mendatang.
“Maka kami protes pada pejabat dan pengusaha yang membabat hutan dan keruk tambang seenaknya,” lanjutnya.
Pernyataan Bahlil Lahadalia yang dikritik itu disampaikan saat pidato di Geopolitical Forum IX bertema Geoeconomic Fragmentation and Energy Security di Jakarta pada 24 Juni 2025.
Bahlil mengeluh atas protes publik terhadap rencana pemerintah menggali kekayaan alam, padahal menurutnya hal itu diperlukan untuk pembangunan nasional.
Ia membandingkan dengan negara maju yang dulu juga membabat hutan dan mengeksploitasi tambang secara masif pada era 1940-an hingga 1960-an ketika mereka masih negara berkembang.
“Sebagian negara-negara lain pada saat mereka di era 40-an, 50-an, 60-an, mereka kan punya hutan banyak juga, mereka punya tambang juga banyak, semuanya mereka banyak, pada saat itu negara mereka belum maju seperti sekarang,” ujar Bahlil.
Bahlil menilai kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam di negara maju dulu justru lebih parah daripada yang dilakukan Indonesia saat ini.
“Maka mereka mengambil sumber daya alam mereka itu, hutannya dibabat, tambangnya diambil, dan mungkin lingkungannya pada saat itu, wallahu a’lam ya, mungkin tidak lebih baik dari apa yang kita lakukan sekarang,” tambahnya.
Sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bahlil bertanya siapa yang protes saat negara maju dulu melakukan hal serupa, sementara Indonesia kini sebagai negara berkembang malah dihalangi.
“Pertanyaan saya, siapa yang memprotes mereka di saat itu, sekarang negara kita negara-negara berkembang yang punya sumber daya alam yang baru memulai untuk berpikir ada nilai tambah, untuk kemudian bisa menyejahterakan rakyatnya, untuk bisa membangun, kok ada yang merasa terganggu. Ada apa di balik itu,” tanyanya.
Bahlil menekankan bahwa setiap negara berhak mengelola sumber daya alamnya secara berdaulat tanpa campur tangan asing, agar semua punya kesempatan sama menuju kemajuan.
“Negara-negara di dunia ini harus dihargai kedaulatan kemerdekaannya, tidak boleh ada satu negara yang merasa lebih berhak, lebih kuat daripada negara lain, karena kita harus membangun kesepahaman bahwa berdiri sama tinggi, duduk sama rendah di mata dunia dalam mengelola sumber daya alam kita, ini harus dibangun,” tegasnya.
Sementara itu, banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menewaskan 174 orang dan masih menyisakan 79 korban hilang per Jumat, 28 November 2025.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

