
Repelita Jakarta - Kuasa hukum Roy Suryo, Ahmad Khozinudin, menilai langkah kepolisian menetapkan sejumlah tokoh sebagai tersangka dalam polemik ijazah Joko Widodo bukan bentuk penegakan hukum yang objektif, melainkan cara membungkam kritik terhadap kekuasaan, dan pandangan itu ia sampaikan dalam podcast Madilog yang ditayangkan di YouTube pada Jumat 14 November 2025.
Menurutnya, persoalan yang melibatkan Roy Suryo, Dr. Tifauzia Tyassuma, Rismon Sianipar, serta lima aktivis lain seharusnya dapat diselesaikan secara terbuka karena inti masalah hanya membutuhkan pembuktian sederhana dan tidak seharusnya berujung pada kriminalisasi terhadap pihak yang mempertanyakan keaslian dokumen presiden.
Ia menilai bahwa jika pihak pelapor benar-benar meyakini keaslian ijazah tersebut, maka pembuktian dapat dilakukan secara langsung tanpa harus menggunakan penahanan maupun pasal-pasal yang menurutnya tidak relevan dengan substansi perkara seperti pencemaran nama baik, penghasutan, atau dugaan manipulasi informasi elektronik.
Khozinudin menambahkan bahwa konstruksi pasal yang digunakan penyidik tampak seperti upaya mencari-cari alasan untuk menjerat para terlapor, sehingga menimbulkan kesan adanya langkah berlebihan demi membatasi ruang kritik terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.
Dalam penjelasannya, ia juga menyebut kasus ini tidak berdiri sendiri karena menurutnya ada kepentingan politis yang berhubungan dengan upaya mempertahankan citra publik Presiden Joko Widodo sekaligus melindungi posisi Gibran Rakabuming Raka yang saat ini berada dalam struktur pemerintahan.
Ia menegaskan bahwa cara paling tepat untuk menyelesaikan perdebatan mengenai dokumen akademik tersebut adalah melalui proses pembuktian di pengadilan agar seluruh pihak dapat melihat proses secara terang dan tidak ada yang merasa dikalahkan dengan penggunaan instrumen pidana.
Khozinudin kemudian mengungkap bahwa sempat muncul tawaran penyelesaian nonlitigasi dari pihak pelapor, yaitu dengan syarat para tersangka bersedia meminta maaf serta mencabut kembali seluruh ucapannya, namun langkah itu ditolak karena dianggap tidak etis dan dapat dianggap sebagai tindakan mengingkari kepentingan publik yang selama ini mereka bela.
Ia menekankan bahwa perjuangan para kliennya bukan ditujukan untuk kepentingan politik siapa pun, tetapi untuk memastikan kebenaran dapat diuji tanpa tekanan, sekaligus menolak anggapan bahwa kritik terhadap presiden adalah tindakan yang harus dibungkam melalui ancaman hukum pidana.
Dalam pandangannya, negara justru sedang berada dalam kondisi mengkhawatirkan ketika aparat penegak hukum dipersepsikan lebih memilih pendekatan represif dibanding membuka ruang transparansi, dan pada bagian akhir ia memberi penegasan, “Kalau hukum dipakai buat menakut-nakuti orang, ya artinya negeri ini lagi sakit. Tapi kami nggak bakal mundur,” tutupnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

