Whoosh Jakarta-Bandung Diselidiki KPK, Pengadaan Lahan dan Dugaan Mark Up Biaya Jadi Fokus
Repelita Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mendalami dugaan tindak pidana korupsi pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh.
Penyelidikan saat ini terfokus pada proses pengadaan lahan yang digunakan untuk jalur kereta cepat.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan pihaknya telah meminta keterangan dari sejumlah individu yang diduga mengetahui tahapan pengadaan lahan tersebut.
Pendalaman dilakukan untuk memahami alur proses pengadaan, termasuk mekanisme dan pihak-pihak yang terlibat.
Pemeriksaan terhadap berbagai pihak terus dilakukan, disertai analisis informasi lain untuk memperkuat penyelidikan.
Sebelumnya, Mahfud MD melalui unggahan video di YouTube pada 14 Oktober 2025 menyoroti dugaan mark up biaya proyek.
Ia menyinggung perbedaan signifikan biaya per kilometer antara Indonesia dan China, yakni sekitar Rp873 miliar hingga Rp892 miliar per kilometer di Indonesia, dibandingkan Rp285 miliar hingga Rp302 miliar per kilometer di China.
Mahfud mempertanyakan pihak yang menaikkan anggaran dan aliran dana yang terjadi.
Ia menyatakan kesediaannya untuk dipanggil KPK guna memberikan keterangan lebih lanjut.
Pada 27 Oktober 2025, KPK mengumumkan dugaan tindak pidana korupsi terkait Whoosh telah naik ke tahap penyelidikan sejak awal tahun 2025.
Lembaga antikorupsi menegaskan proses hukum berjalan tanpa intervensi, termasuk terkait dugaan mark up sejak awal proyek.
Proyek Whoosh juga mendapat sorotan karena dianggap dipaksakan secara politik pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Biaya proyek membengkak dari sekitar Rp96 triliun menjadi lebih dari Rp128 triliun, menimbulkan pertanyaan publik mengenai pengelolaan dan pengawasan anggaran.
Perubahan skema pendanaan, yang awalnya diklaim tanpa APBN, akhirnya melibatkan suntikan dana negara, memperkuat kritik publik.
Proyek KCJB awalnya dibiayai melalui pinjaman China Development Bank, namun pembengkakan biaya membuat struktur pembiayaan berubah.
Indonesia dan China sepakat merestrukturisasi utang hingga tenor sekitar 60 tahun untuk meringankan beban cicilan jangka panjang.
Meski secara formal utang berada di bawah PT KCIC dan induk baru Danantara, risiko gagal bayar tetap mengintai keuangan negara karena BUMN menjadi pemegang saham utama.
Sebelum memilih China, Jepang melalui JICA lebih dulu membuat studi kelayakan dengan bunga rendah namun mensyaratkan jaminan pemerintah.
Pemerintah kemudian memilih proposal China dengan skema tanpa jaminan APBN meski bunga lebih tinggi, keputusan yang dinilai bernuansa politis.
Studi kelayakan proyek Whoosh dinilai terlalu optimistis, terutama terkait proyeksi penumpang dan biaya konstruksi.
ICW dan sejumlah analis menilai keputusan memulai proyek secara cepat membuat aspek teknis dan finansial kerap mengabaikan risiko nyata.
Perubahan sikap pemerintah, yang awalnya menolak penggunaan APBN namun akhirnya membuka peluang penyertaan modal negara, memperkuat anggapan perencanaan proyek tidak solid.
Proyek Whoosh kini menjadi isu politik besar karena dianggap membebani negara dalam jangka panjang.
Kritik terhadap Presiden Joko Widodo semakin menguat karena proyek ini kini dihadapkan pada penyelidikan KPK dan sorotan publik terkait dugaan penggelembungan harga.
Perdebatan publik terus berlangsung, tidak hanya soal manfaat proyek, tetapi juga tata kelola, pemilihan mitra, dan potensi pelanggaran hukum.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

