Breaking Posts

-->
6/trending/recent

Hot Widget

-->
Type Here to Get Search Results !

Gayus Lumbuun Sorot Dugaan Kejanggalan Dokumen Jokowi: Klaim Soal SKL UGM dan Desakan KPU Jadi Sorotan

Repelita Jakarta - Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun menilai bahwa pendekatan mediasi menjadi opsi paling tepat untuk mengakhiri kontroversi seputar keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo, ketimbang langsung menyeretnya ke ranah peradilan yang bisa memperburuk situasi.

Ia menjelaskan bahwa dalam sistem hukum saat ini, penyelesaian damai melalui mediasi lebih dianjurkan, baik untuk kasus pidana melalui mekanisme mediasi penal maupun urusan tata usaha negara melalui penolakan gugatan.

"Pengadilan memenuhi kemajuan hukum, sebab konsep ultimum remedium merupakan upaya terakhir setelah semua upaya lain, termasuk mediasi gagal, yang semula diharapkan sebagai win-win solution," ungkap Gayus Lumbuun dalam pernyataannya di Jakarta pada Jumat.

Gayus menambahkan bahwa jika upaya mediasi gagal dilakukan, isu ini berisiko semakin memecah belah masyarakat karena masing-masing kubu akan ngotot mempertahankan klaim kebenarannya masing-masing.

Situasi seperti itu justru merugikan kepentingan negara secara keseluruhan, karena dapat memicu ketidakstabilan politik dan sosial yang lebih luas.

Gayus menegaskan bahwa dirinya tidak memihak kepada siapa pun, melainkan hanya berusaha mencegah polarisasi yang bisa merusak harmoni nasional.

Ia menolak sikap menyerang salah satu pihak, dan lebih memilih menempatkan perkara ini dalam kerangka hukum yang jelas agar bisa diselesaikan secara bijaksana.

Menurutnya, polemik yang kini bergulir di masyarakat harus segera diakhiri, sebab jika dibiarkan berlarut-larut, hal itu berpotensi mengancam keutuhan bangsa dan negara.

"Rakyat Indonesia diharapkan tidak terpancing dan memperkeruh suasana," pesannya kepada publik.

Gayus juga menyebut bahwa jika Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, serta Tifauzia Tyassuma yang kini berstatus tersangka terbukti melakukan pelanggaran, maka sanksi hukum akan diberikan secara adil.

Di sisi lain, jika bukti menunjukkan ijazah Jokowi memang palsu, maka presiden tersebut pun harus menghadapi konsekuensi hukum yang sama.

Sejauh ini, Universitas Gadjah Mada telah mengonfirmasi bahwa Jokowi memang menempuh pendidikan di sana hingga lulus sebagai sarjana kehutanan, serta ijazah aslinya telah diserahkan kepada alumni tersebut.

Gayus mengingatkan bahwa saat Jokowi mencalonkan diri sebagai wali kota, gubernur, maupun presiden, ijazah asli menjadi salah satu syarat mutlak yang diajukan ke Komisi Pemilihan Umum.

Hanya surat keterangan lulus dari universitas tidak cukup memenuhi ketentuan administratif tersebut.

Oleh sebab itu, penggunaan ijazah yang diduga palsu bisa dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, meskipun Jokowi telah memiliki pengalaman dan keahlian nyata di bidang kehutanan.

Gayus menekankan bahwa vonis hakim tidak hanya bergantung pada kepastian hukum semata, melainkan juga mempertimbangkan tiga pilar utama, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan bagi masyarakat, serta prinsip keadilan.

"Antara keadilan dengan kepastian memiliki muara yang berbeda. Pemalsuan ijazah dalam konteks kepastian hukum ya harus ada sanksi, tapi tidak demikian dengan aspek keadilan," jelasnya.

Ia menambahkan bahwa dalam kasus ini, kemungkinan besar terjadi penyalahgunaan keadaan atau situasi yang dikenal sebagai misbruik van omstandigheiden.

Sebagai contoh, Komisi Pemilihan Umum menuntut ijazah asli sebagai prasyarat pencalonan, sementara universitas hanya mampu mengeluarkan surat keterangan lulus karena menganggap ijazah sebelumnya sudah terbit.

Akibatnya, situasi tersebut memicu pembuatan ijazah palsu sebagai solusi darurat, yang secara hukum dapat dijelaskan melalui konsep misbruik van omstandigheiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dengan demikian, Gayus menyarankan agar konsep ini lebih diterapkan daripada Pasal 44 hingga 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lebih menekankan pada pembelaan atau pemaaf atas perbuatan itu sendiri.

Oleh karena itu, ia kembali menegaskan bahwa mediasi harus menjadi prioritas utama dalam menyelesaikan perkara ijazah ini, terutama karena akar masalahnya hanyalah klaim dari pernyataan individu.

Berdasarkan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pihak yang mengajukan pernyataan tersebut bertanggung jawab penuh untuk membuktikannya secara mandiri, tanpa harus melibatkan lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung.

"Selain itu, orang tersebut juga harus merasakan kerugian yang nyata dan langsung sebagai akibat dari apa yang diucapkannya tersebut," tambahnya.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

-->

Below Post Ad

-->

Ads Bottom

-->
Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved