
Repelita Jakarta - Isu dugaan ijazah palsu yang menyeret nama Hakim Mahkamah Konstitusi Arsul Sani mendapat sorotan serius di DPR RI.
Komisi III merasa berada di posisi sulit setelah persoalan ini mencuat pasca proses seleksi dan penetapan calon anggota Komisi Yudisial yang mereka lakukan.
Hal itu terlihat saat rapat dengar pendapat Komisi III DPR dengan Panitia Seleksi Calon Anggota KY di Senayan, Jakarta, Senin 17 November 2025.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mempertanyakan mekanisme verifikasi calon anggota KY, khususnya terkait keaslian ijazah dan keberadaan kampus yang mengeluarkan dokumen akademik tersebut.
"Kampusnya ada Enggak? Gitu lho. Mungkin saja dokumennya benar, ternyata kampusnya tidak ada. Ada mekanisme seperti itu enggak, Pak?" ujarnya, menekankan pentingnya pengecekan yang substansial.
Menanggapi hal itu, Ketua Pansel KY, Dhahana Putra, mengatakan bahwa semua calon wajib menyerahkan ijazah terbaru yang telah dilegalisasi sebagai syarat formil.
"Jadi itu menjadi suatu dokumen yang kami gunakan untuk proses lebih lanjut," katanya.
Habiburokhman menekankan bahwa verifikasi dokumen akademik harus lebih mendalam agar kasus seperti Arsul Sani tidak terulang.
"Iya agak sulit juga karena kayak kita ini kan ada masukan soal Pak Arsul Sani kami yang disalahin sekarang pak," tambahnya.
Ia juga mengakui bahwa Komisi III tidak memiliki kapasitas forensik untuk menilai keaslian dokumen secara mendalam.
"Karena kami baca ini, baca apa namanya dokumen ya, kan ya, satu, memang kita tidak ada kemampuan secara forensik menilai asli atau enggak. Tapi pasti asli kalau dokumennya. Tapi mengecek kampusnya itu seperti apa mekanismenya gitu lho," jelasnya.
Isu ijazah palsu ini muncul setelah Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi melaporkan Arsul Sani ke Bareskrim Polri pada Jumat 14 November 2025 dengan dugaan dokumen program doktor yang tidak sah.
Pelapor mengaku telah mengantongi bukti kuat yang mendukung laporan tersebut dan menuntut penyelidikan lebih lanjut.
Editor: 91224 R-ID Elok

