Repelita Karanganyar – Surat Keputusan (SK) Bupati Karanganyar yang menghentikan sementara pembangunan kompleks Bukit Doa di Desa Karangturi, Kecamatan Gondangrejo, Jawa Tengah, memicu sorotan tajam dari warganet dan publik nasional.
SK bernomor 500.16.7/505/2025 tersebut ditandatangani oleh Bupati Karanganyar Rober Christianto pada 2 September 2025.
Dalam dokumen resmi itu, disebutkan bahwa penundaan dilakukan demi menjaga kondusivitas dan mencegah potensi konflik sosial di masyarakat.
Proyek Bukit Doa merupakan bagian dari kompleks wisata rohani Holyland yang dibangun oleh Yayasan Keluarga Anugerah Surakarta.
Kompleks tersebut mencakup gereja, sekolah teologi, panti asuhan, dan area wisata miniatur Jerusalem.
Sejak awal pembangunan pada April 2024, proyek ini tidak mendapat penolakan berarti dari warga sekitar.
Namun, pada Agustus 2025, muncul gelombang protes dari kelompok yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Gondangrejo.
Kelompok tersebut menyebut pembangunan Bukit Doa sebagai “bencana akidah” dan menyerukan penolakan terbuka terhadap proyek tersebut.
Video penolakan mereka viral di media sosial dan memicu perdebatan luas tentang toleransi dan hak beribadah.
Warganet menyoroti bahwa proyek tersebut telah mengantongi izin resmi, termasuk IMB untuk gereja, sekolah, dan area wisata.
Ketua Yayasan, David Setyawan Auwdinata, menyatakan bahwa semua perizinan telah lengkap dan sah secara hukum.
Ia menyebut bahwa penundaan pembangunan adalah bentuk pelanggaran konstitusi karena menghalangi hak beribadah yang dijamin negara.
“Negara jangan kalah,” tegas David dalam pernyataan tertulisnya pada Rabu, 24 September 2025.
Warganet juga menyuarakan kemarahan atas sikap pemerintah daerah yang dinilai tunduk pada tekanan kelompok intoleran.
Unggahan di media sosial seperti Instagram @mlampahsolo menyebut bahwa “telah meninggal dunia toleransi”.
Sekretaris Desa Karangturi, Muhtar, mengaku bingung dengan keputusan SK tersebut karena sebelumnya tidak ada penolakan dari warga.
Ia menyebut bahwa pihak desa hanya memfasilitasi pertemuan antara yayasan dan warga, tanpa dilibatkan dalam proses penerbitan SK.
Pertemuan pertama antara warga dan yayasan digelar pada Juli 2023 di Mojosongo, Solo, dan berlangsung tanpa konflik.
Namun, setelah lebih dari setahun pembangunan berjalan, SK penundaan tiba-tiba diterbitkan oleh Bupati Karanganyar.
Beberapa fraksi di DPRD Karanganyar juga menyuarakan keberatan terhadap proyek tersebut karena dianggap bermasalah dalam perizinan.
Pihak yayasan membantah tudingan tersebut dan menyatakan bahwa semua dokumen telah sesuai prosedur.
Penundaan proyek ini memunculkan kekhawatiran akan dampak terhadap kebebasan beragama dan iklim toleransi di daerah.
Komnas HAM dan sejumlah tokoh lintas agama mulai memantau perkembangan kasus ini untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran hak asasi.
Publik berharap agar pemerintah pusat turun tangan untuk menengahi dan memastikan hak konstitusional warga tetap dijamin.
Kasus ini menjadi refleksi penting bagi tata kelola pembangunan berbasis keagamaan di tengah masyarakat multikultural.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

