Repelita Kuala Lumpur - Ribuan warga Malaysia tumpah ruah di Lapangan Merdeka, Kuala Lumpur, pada Sabtu 26 Juli 2025, untuk menuntut Perdana Menteri Anwar Ibrahim turun dari jabatannya.
Demonstrasi yang digelar di tengah hujan ini disebut-sebut sebagai aksi protes terbesar sejak Anwar menduduki kursi perdana menteri melalui koalisi pasca pemilu 2022.
Massa yang didominasi pendukung Partai Islam Se-Malaysia (PAS) membawa poster bertuliskan Mundur Anwar dan meneriakkan seruan Turun Anwar sepanjang aksi berlangsung.
Puluhan petugas keamanan diterjunkan untuk menjaga situasi tetap kondusif di sekitar lokasi unjuk rasa.
Dorongan untuk memaksa Anwar mundur tidak lepas dari tiga isu utama yang memicu ketidakpuasan publik.
Pertama, publik menilai janji-janji reformasi yang pernah diusung Anwar, seperti pemberantasan korupsi, kronisme, dan nepotisme, belum terwujud nyata hingga pertengahan masa jabatannya.
Biaya hidup yang tinggi serta minimnya hasil konkret dari diplomasi luar negeri memperkuat penilaian bahwa perubahan yang dijanjikan masih jauh dari harapan.
Kedua, strategi populis dengan pemberian bantuan tunai sebesar 100 ringgit kepada warga berusia 18 tahun ke atas, serta subsidi bahan bakar bagi pengendara, dinilai hanya sebagai solusi sesaat.
Langkah ini justru menambah kritik bahwa kebijakan tersebut lebih bersifat meredam protes ketimbang menjadi jawaban atas persoalan mendasar ekonomi Malaysia.
Ketiga, meskipun Anwar dianggap berhasil menstabilkan politik pasca pergolakan panjang, stabilitas itu belum cukup meredam desakan reformasi mendalam.
Survei Merdeka Centre pada Juni lalu masih menempatkan tingkat persetujuan publik di angka 55 persen, tetapi ini belum cukup memuaskan banyak pihak yang menuntut langkah lebih konkret.
Dinamika politik Anwar juga tidak lepas dari kritik keras mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad.
Dalam pidatonya di Alor Setar pada 17 Juli 2025, Mahathir secara terbuka meminta Anwar mundur dengan alasan kepemimpinannya dianggap tidak layak.
Mahathir bahkan mengungkit polemik lama soal legalitas pengampunan yang pernah diterima Anwar, menyoroti celah hukum yang dapat menggoyang keabsahan kepemimpinannya saat ini.
Di samping tekanan politik, kalangan profesional hukum juga ikut angkat suara melalui aksi protes di Putrajaya beberapa pekan lalu.
Ratusan pengacara mendesak independensi peradilan dan menyoroti dugaan intervensi Anwar dalam pengangkatan hakim, serta upaya mencari kekebalan hukum atas tuduhan pelecehan seksual yang pernah menyeret namanya.
Meski rapat umum luar biasa yang diajukan Malaysian Bar gagal karena tidak kuorum, isu ini tetap menjadi sinyal bahwa tuntutan mundur terhadap Anwar datang dari berbagai lapisan masyarakat.
Dalam merespons gelombang demonstrasi, Anwar Ibrahim menegaskan dirinya tidak akan terpengaruh oleh desakan turun jabatan.
Ia menekankan bahwa pemilu berikutnya akan tetap digelar paling lambat pada 2028 sesuai konstitusi Malaysia.
Kini, tekanan publik semakin menantang kemampuan Anwar menjaga stabilitas di tengah situasi sosial dan politik yang kembali memanas.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

