Repelita Cirebon – Ratusan calon jemaah haji asal Kabupaten Cirebon terancam gagal berangkat tahun ini. Isu dugaan manipulasi kuota haji oleh oknum aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Agama (Kemenag) Cirebon menjadi sorotan publik.
Sebanyak 68 jemaah dari Kabupaten Cirebon dan Indramayu diduga menjadi korban janji palsu terkait penggabungan mahram haji. Mereka telah mengikuti seluruh prosedur yang ditetapkan, namun akhirnya tidak terdaftar dalam Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat).
Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), mengungkapkan bahwa ASN diduga memberikan informasi atau arahan nonformal yang dimaknai oleh jemaah sebagai jaminan resmi untuk masuk kuota mahram. Hal ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Selain itu, IAW juga mencatat adanya indikasi ketidakjelasan dalam proses pendaftaran haji, serta dugaan tekanan terhadap ASN untuk memanipulasi data dalam Siskohat. Kasus serupa juga terjadi di Indramayu, yang menunjukkan bahwa masalah ini bersifat sistemik dan melibatkan banyak pihak.
Sebagai respons terhadap temuan ini, IAW mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigatif terhadap seluruh proses penggabungan mahram haji di wilayah Jawa Barat, khususnya di Cirebon dan Indramayu. Audit ini diharapkan dapat mengungkap praktik-praktik yang merugikan jemaah dan memastikan transparansi serta akuntabilitas dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Kementerian Agama Kabupaten Cirebon belum memberikan pernyataan resmi terkait dugaan manipulasi kuota haji ini. Namun, masyarakat berharap agar kasus ini segera ditangani secara serius dan transparan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
Sementara itu, daftar tunggu haji di Kabupaten Cirebon terus meningkat. Per Mei 2024, jumlah calon jemaah haji yang belum berangkat mencapai 52.263 orang, dengan estimasi masa tunggu hingga 23 tahun. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk menunaikan ibadah haji, namun juga menimbulkan tantangan dalam penyelenggaraan yang adil dan transparan.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak terkait untuk meningkatkan integritas dan profesionalisme dalam pelayanan publik, khususnya dalam penyelenggaraan ibadah haji. Transparansi, akuntabilitas, dan keadilan harus menjadi prinsip utama dalam setiap proses administrasi, agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah tetap terjaga.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok