Repelita, Jakarta – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia pada 20 Maret 2025, telah menarik perhatian luas dari media internasional. Langkah ini dianggap membuka "kotak Pandora" yang dapat mengubah dinamika hubungan sipil-militer di Indonesia.
The Guardian melaporkan bahwa revisi ini memungkinkan personel militer untuk menduduki lebih banyak posisi sipil, termasuk di kantor kejaksaan, sekretariat negara, serta lembaga antiterorisme dan narkotika.
Langkah ini memicu kekhawatiran akan kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan, mengingat Presiden Prabowo Subianto adalah mantan jenderal dan menantu Presiden Soeharto.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin membela perubahan ini sebagai respons terhadap tantangan domestik dan geopolitik yang memerlukan transformasi militer.
Human Rights Watch mengkritik revisi ini dengan menyatakan bahwa langkah tersebut berpotensi merusak komitmen Indonesia terhadap hak asasi manusia dan akuntabilitas.
Andreas Harsono, peneliti senior di HRW, menyebut langkah ini sebagai upaya mengembalikan peran militer dalam urusan sipil yang sebelumnya ditandai dengan penyalahgunaan dan impunitas.
Sementara itu, media asal Prancis menyoroti pengesahan revisi UU TNI yang memperluas keterlibatan militer dari 10 jabatan sipil menjadi 14 jabatan sipil. Langkah ini dianggap sebagai sinyal kembalinya pengaruh militer dalam pemerintahan Indonesia.
Pengesahan revisi UU TNI juga memicu protes dari kelompok masyarakat sipil di Indonesia. Demonstrasi mahasiswa dan aktivis menuntut pembatalan revisi ini, dengan alasan bahwa langkah tersebut dapat mengancam supremasi sipil dan memperlemah prinsip-prinsip demokrasi.
Revisi UU TNI ini menambah usia masa dinas prajurit hingga 58 tahun bagi bintara dan tamtama, 60 tahun bagi perwira, serta 65 tahun bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional.
Perubahan ini juga membuka peluang bagi prajurit aktif untuk berbisnis, yang sebelumnya dilarang.
Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia tengah menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertahanan dan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok