Repelita Jakarta – Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, kini menjadi sorotan publik terkait kasus Bank Jatim yang tengah bergulir.
Meski telah berulang kali dimintai keterangan oleh media, Khofifah memilih untuk bungkam dan tidak memberikan penjelasan resmi mengenai keterlibatannya dalam kasus tersebut.
Kondisi ini memunculkan berbagai spekulasi di kalangan masyarakat dan politisi.
Salah satu yang paling vokal menyuarakan kritik adalah Muhammad Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN.
Melalui akun media sosial X pribadinya, Said Didu menilai sikap diam Khofifah sebagai bentuk upaya untuk mencari perlindungan politik.
Ia menyebut bahwa Khofifah tidak hanya sowan ke Presiden Joko Widodo, tetapi juga sebelumnya sowan ke menantu Jokowi, di Medan.
Sindiran ini menunjukkan dugaan bahwa Khofifah tengah mencari dukungan dari lingkaran kekuasaan untuk menghindari jeratan hukum.
Said Didu menambahkan bahwa biasanya, orang-orang yang rajin sowan ke Jokowi adalah mereka yang sedang bermasalah, seperti koruptor, preman, hingga pejabat korup.
Pernyataan ini mendapat perhatian luas dari netizen.
Beberapa warganet mendukung pandangan Said Didu, sementara yang lain menilai bahwa kritik tersebut berlebihan.
Namun, yang jelas, kasus Bank Jatim ini semakin memanas dan menjadi perhatian publik.
Publik menantikan langkah konkret dari aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini tanpa pandang bulu.
Selain itu, masyarakat juga berharap agar pejabat publik lebih transparan dan bertanggung jawab dalam setiap tindakannya.
Keterlibatan Khofifah dalam kasus ini tentunya akan berdampak pada citra politiknya, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kasus ini juga menjadi pelajaran bagi para pejabat lainnya untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan menjaga hubungan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
Publik akan terus mengawasi perkembangan kasus ini dan berharap agar keadilan dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya.
Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi ruang bagi praktik-praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Polemik ini juga mencerminkan dinamika politik Indonesia yang terus berkembang.
Peran media sosial sebagai alat komunikasi politik semakin signifikan, namun juga membawa tantangan tersendiri.
Pejabat publik perlu memahami dampak dari setiap pesan yang disampaikan melalui platform digital.
Dengan demikian, komunikasi yang efektif dan bertanggung jawab menjadi semakin penting dalam menjaga stabilitas dan kepercayaan masyarakat.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok