
Repelita Jakarta – Pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali menyoroti sejumlah isu yang dianggap menghambat perdagangan dengan Indonesia.
Dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menyoroti dua hal utama: sistem pembayaran Quick Response Indonesia Standard (QRIS) dan keberadaan barang bajakan di Pasar Mangga Dua, Jakarta.
AS menganggap QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai hambatan akses pasar bagi pelaku usaha asing.
Menurut USTR, kebijakan ini membatasi perusahaan AS dalam menyediakan layanan pembayaran digital di Indonesia.
Selain itu, AS juga mengeluhkan maraknya produk bajakan yang dijual di Pasar Mangga Dua.
Pasar ini kembali tercatat dalam daftar "Notorious Markets for Counterfeiting and Piracy" oleh USTR, bersama dengan beberapa platform e-commerce asal Indonesia.
Menanggapi hal ini, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Rhenald Kasali, menyindir keras sikap AS yang dianggap terlalu mencampuri urusan domestik Indonesia.
Ia menilai bahwa masalah barang bajakan bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara-negara produsen barang mewah seperti Italia dan Prancis.
Menurutnya, AS seharusnya tidak hanya fokus pada isu-isu tersebut, mengingat negara tersebut juga menghadapi masalah internal seperti tingginya angka penembakan massal dan penyebaran narkotika.
Sementara itu, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) berharap pemerintah Indonesia dapat memberikan penjelasan yang berimbang dan langkah diplomasi yang proporsional terkait keluhan AS.
Sekretaris Jenderal HIPMI, Anggawira, mengungkapkan bahwa dunia usaha di Indonesia memandang perlu ada komunikasi yang jelas antara kedua negara untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Pemerintah Indonesia, melalui Bank Indonesia (BI), menegaskan bahwa QRIS dan GPN merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat sistem pembayaran nasional dan mendorong inklusi keuangan.
BI juga menyatakan komitmennya untuk terus meningkatkan kualitas dan keamanan sistem pembayaran digital di Indonesia.
Dalam konteks perdagangan, AS juga mengungkit defisit perdagangan dengan Indonesia yang tercatat sebesar US$ 17,9 miliar pada tahun 2024.
Sebagai respons, AS menetapkan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap berbagai produk asal Indonesia.
Pemerintah Indonesia berharap dapat menyelesaikan permasalahan ini melalui dialog dan negosiasi yang konstruktif.
Ke depan, diharapkan kedua negara dapat menemukan solusi yang saling menguntungkan untuk mengatasi hambatan-hambatan perdagangan ini.
Penting bagi Indonesia untuk menjaga kedaulatan kebijakan domestiknya, sementara AS diharapkan dapat memahami konteks dan dinamika yang ada di Indonesia.
Kerja sama yang baik antara kedua negara akan memberikan manfaat bagi perekonomian masing-masing dan memperkuat hubungan bilateral.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

