
Repelita Jakarta - Kasus dugaan korupsi tata kelola impor minyak mentah serta bahan bakar minyak periode 2018 hingga 2023 yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah dianggap terkatung-katung di Kejaksaan Agung.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia, Yusri Usman, mempertanyakan keseriusan penyidik dalam membongkar perkara yang dinilai bersifat sistemik, masif, serta terstruktur.
"Bagaimana mungkin korupsi tata kelola impor minyak mentah dan BBM periode 2018 sampai dengan 2023, yang menimbulkan total kerugian negara Rp297 triliun, terjadi sistemik, masif dan terstruktur," papar Yusri Usman, Jakarta, Minggu (14/12/2025).
Yusri yakin mega skandal di Pertamina yang mencapai hampir tiga ratus triliun rupiah itu melibatkan banyak pihak dari dalam maupun luar perusahaan pada masa lalu.
"Patut diduga termasuk mantan Menteri BUMN Erick Thohir yang hingga detik ini, belum pernah dimintakan keterangan oleh penyidik Pidsus Kejagung. Ini jelas aneh dan ajaib," imbuhnya.
Sejumlah pengusaha besar yang berada di balik perusahaan penerima manfaat solar industri dengan harga di bawah ketentuan seharusnya segera diperiksa.
Jika bukti cukup, status tersangka dapat segera ditetapkan.
Nama Garibaldi Thohir atau Boy Thohir, kakak kandung Erick Thohir yang kini menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga, sering disebut terkait perkara ini.
Begitu pula Franky O Widjaja dari Sinarmas Group.
Keduanya hingga kini belum pernah dipanggil penyidik Kejaksaan Agung.
"Harusnya seluruh perusahaan penikmat solar industri yang dijual di bawah harga solar subsidi, itu kan melawan hukum dan merugikan negara. Kenapa kok belum diperiksa. Kentara ada pembiaran atau malah meloloskan pihak yang bersalah," tegasnya.
Dugaan kongkalikong antara korporasi dengan oknum internal Pertamina terungkap dalam sidang terdakwa Riva Siahaan, mantan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 9 Oktober 2025.
Jaksa menyebut belasan perusahaan meraup keuntungan besar dari pembelian solar dengan harga tidak wajar.
Praktik ini melanggar pedoman tata niaga internal Pertamina Patra Niaga.
Kerugian negara dari skandal solar murah saja mencapai dua koma lima triliun rupiah.
Perusahaan seperti PT Adaro Indonesia milik Boy Thohir diduga meraup seratus enam puluh delapan koma lima satu miliar rupiah.
PT Maritim Barito Perkasa yang terafiliasi Adaro Group sekitar enam puluh enam koma empat delapan miliar rupiah.
PT Berau Coal dari Sinarmas Group empat ratus empat puluh sembilan koma satu miliar rupiah.
Dua perusahaan lain di bawah Sinarmas, PT Purwasa Eka Persada serta PT Arara Abadi, total tiga puluh dua koma satu satu miliar rupiah.
Sehingga keseluruhan untuk Sinarmas Group mencapai empat ratus delapan puluh satu koma satu miliar rupiah.
Perusahaan lain seperti PT Bukit Makmur Mandiri Utama dari Delta Dunia Group dua ratus enam puluh empat koma satu empat miliar rupiah.
PT Merah Putih Petroleum dua ratus lima puluh enam koma dua tiga miliar rupiah.
PT Ganda Alam Makmur dari Titan Group seratus dua puluh tujuh koma sembilan sembilan miliar rupiah.
PT Indo Tambangraya Megah melalui anak usahanya delapan puluh lima koma delapan miliar rupiah.
PT Vale Indonesia enam puluh dua koma satu empat miliar rupiah.
PT Indocement Tunggal Prakarsa empat puluh dua koma lima satu miliar rupiah.
Bahkan perusahaan negara seperti PT Aneka Tambang enam belas koma tujuh sembilan miliar rupiah serta PT Nusa Halmahera Minerals empat belas koma nol enam miliar rupiah.
Dua bulan setelah fakta tersebut terungkap di sidang, belum ada kemajuan signifikan dalam pemeriksaan pihak-pihak terkait.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, Boyamin Saiman, menilai Kejaksaan Agung seharusnya sudah menetapkan tersangka korporasi penerima manfaat.
Sanksi tambahan seperti pencabutan izin usaha hingga pembubaran perusahaan dapat diterapkan.
“Karna beberapa yayasan yang melakukan pelanggaran itu juga dibubarkan oleh kejaksaan. Maka perusahaan juga harus dicabut izin dan dibubarkan,” kata Boyamin, Rabu (12/11/2025).
Denda saja tidak cukup memberikan efek jera bagi pelaku korporasi.
“Bukan hanya sekadar dihukum denda dan sebagainya. Terlalu enak nanti banyak yang melakukan itu. Jadi, itulah menurut saya harus segera diproses hukum untuk menjadikan jera semuanya,” ujarnya.
Editor: 91224 R-ID Elok

