
Repelita Jakarta - Ancaman siklon tropis di Indonesia kini berubah menjadi bencana berfrekuensi tinggi dengan dampak kehancuran sangat luas sehingga memaksa negara melakukan perombakan total terhadap sistem mitigasi dan peringatan dini yang selama ini berjalan.
Pakar klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional Erma Yulihastin menyatakan bahwa dalam satu dekade terakhir intensitas serta frekuensi siklon tropis yang berkembang cepat di perairan tropis Indonesia melonjak drastis.
Ia mengungkapkan telah berulang kali memperingatkan pemerintah mengenai bahaya baru ini sejak kejadian-kejadian besar sebelumnya namun sebagian besar peringatan tersebut hanya berhenti pada tahap penyampaian informasi tanpa solusi sistemik yang mendesak justru belum terealisasi.
Berbeda dengan gempa bumi maupun tsunami yang tergolong rendah frekuensi siklon tropis kini terjadi rutin setiap tahun dengan cakupan kerusakan yang sangat luas diperparah oleh pemanasan global yang semakin ekstrem.
Erma menegaskan penanganan siklon tropis tidak lagi bisa diserahkan sepenuhnya kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengingat lembaga tersebut harus menangani segala jenis bencana secara simultan sehingga fokus terhadap ancaman berfrekuensi tinggi menjadi terpecah.
Ia merekomendasikan pembentukan Tim Mitigasi Siklon Tropis yang berdiri independen langsung di bawah komando Presiden dengan kewenangan penuh merumuskan kebijakan hingga mengambil keputusan respons cepat saat ancaman meningkat.
Tim tersebut wajib memastikan setiap daerah memiliki prosedur operasional standar yang jelas sistem peringatan dini berstandar internasional serta skema evakuasi yang telah disiapkan jauh-jauh hari bahkan sejak enam bulan sebelum puncak musim siklon.
Selain itu Indonesia harus segera membangun budaya Siklon Ready Nation dengan membentuk komunitas siaga siklon di setiap wilayah lengkap dengan panduan bertahap mulai enam bulan satu bulan hingga hitungan minggu menjelang badai menerjang.
Erma mengkritik keras sistem peringatan dini saat ini yang hanya berupa rilis informasi padahal seharusnya muncul berulang-ulang di seluruh saluran televisi dan media hingga masyarakat benar-benar sadar serta bersiap.
Sementara itu Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia Harkunti Pertiwi Rahayu menilai respons pemerintah daerah masih sangat lemah meskipun sistem peringatan dini secara nasional sudah cukup baik.
Ia membandingkan dengan Jepang yang telah menanamkan budaya bosai atau kesiapsiagaan bencana secara mendalam sehingga risiko korban jiwa dan kerugian materi dapat ditekan seminimal mungkin.
Erma menambahkan bahwa pendekatan tanggap darurat sementara dan satgas temporer tidak lagi cukup menghadapi ancaman yang semakin sering ini diperlukan struktur permanen dengan keputusan strategis langsung dari Presiden agar Indonesia tidak terus kecolongan setiap musim siklon tiba.
Dengan periode rawan siklon yang membentang dari November hingga April setiap tahunnya pemerintah diminta segera bertindak taktis dan jangka panjang sebelum kerugian ekonomi serta korban jiwa terus berlipat ganda.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

