Repelita Bandung - Pemerhati politik dan kebangsaan M Rizal Fadillah menilai bahwa pemerintahan Prabowo Subianto yang terus melanjutkan pola rezim sebelumnya tanpa perbaikan mendasar merupakan kesalahan utama.
Menurutnya, memulai kepemimpinan baru tanpa membawa semangat pembaruan terasa tidak wajar dan kurang bijaksana, mengingat kondisi sebelumnya sedang mengalami penurunan.
Lebih dari satu tahun berjalan, kinerja pemerintahan ini dinilai menunjukkan ketidakmampuan dalam membaca situasi secara tepat.
Tahun 2025 yang seharusnya menjadi periode pembuktian arah kepemimpinan justru menampilkan citra pemimpin yang tidak memenuhi ekspektasi masyarakat.
Penanganan berbagai persoalan dianggap kurang profesional dan cenderung tidak tegas, sehingga menimbulkan penilaian bahwa Prabowo belum mampu memimpin secara efektif.
Ada empat faktor utama yang membuat tahun 2026 berpotensi menjadi periode penuh kekecewaan dan kepahitan bagi bangsa.
Pertama, kurangnya kesadaran spiritual dalam menghadapi bencana alam seperti banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, di mana tidak terlihat pengakuan bahwa peristiwa tersebut merupakan teguran atas kerusakan lingkungan dan keserakahan materiil.
Pengabaian terhadap teguran semacam itu dikhawatirkan akan memicu rangkaian bencana yang berkepanjangan.
Kedua, sikap enggan mengakui kesalahan dan keterbatasan diri, padahal penderitaan masyarakat di daerah bencana sangat nyata dan membutuhkan pemulihan serius.
Prabowo dinilai terlalu percaya diri atas kemenangan politik bersama Gibran, tanpa menyadari bahwa proses tersebut melibatkan kecurangan dengan dukungan pihak tertentu, yang kelak akan membawa konsekuensi.
Ketiga, adanya ketidakkonsistenan antara ucapan dan tindakan nyata, di mana janji-janji besar sering tidak diikuti dengan pelaksanaan yang memadai.
Hal ini terlihat pada berbagai program seperti reformasi kepolisian, pembangunan IKN, penanganan banjir, proyek kereta cepat, serta isu di Morowali yang dijalankan tanpa keteguhan.
Keempat, kecenderungan mempermainkan aspek hukum, moral, dan etika, di mana korupsi yang sistemik tidak diatasi secara mendasar melainkan hanya dengan pendekatan permisif.
Pemerintahan yang seperti ini berisiko menuai reaksi keras dari masyarakat sesuai prinsip sebab-akibat.
Tanpa adanya perubahan sikap dan pertobatan, kemarahan sosial dari berbagai kalangan seperti rakyat tertindas, mahasiswa, buruh, santri, ulama, ibu rumah tangga, purnawirawan, serta aktivis diprediksi akan semakin membesar.
Indikasi ancaman tidak hanya datang dari bencana alam seperti banjir dan longsor, tetapi juga dari gejolak sosial yang masif.
Jika kinerja tetap seperti sebelumnya tanpa pembenahan, maka tahun 2026 sangat mungkin menjadi masa penuh kepahitan nasional.
Kiranya ayat-ayat suci menjadi bahan renungan dan dasar sikap sebelum tragedi lebih lanjut terjadi, demikian tulis M Rizal Fadillah pada 24 Desember 2025.
Editor: 91224 R-ID Elok

