Breaking Posts

-->
6/trending/recent

Hot Widget

-->
Type Here to Get Search Results !

Jokowi Gunakan UU ITE Pidanakan Pencari Kebenaran Ijazah, Dokter Tifa: Tubuh Tidak Bisa Diajak Bohong

Repelita Jakarta - Dokter Tifauzia Tyassuma mengkritik keras mantan Presiden Joko Widodo atas penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk memidanakan mereka yang mencari fakta seputar ijazah.

Menurutnya, pasal-pasal berat dalam UU ITE justru dimanfaatkan untuk menekan para pengungkap kebenaran.

Tifa menyoroti bahwa Pasal 32 dan 35 yang mengancam hukuman hingga 12 tahun penjara awalnya ditujukan bagi pelaku kejahatan siber serius seperti peretas bank atau penyusup sistem negara.

Akan tetapi, ketentuan itu diterapkan terhadap dirinya serta beberapa orang lain yang mempertanyakan isu ijazah.

“Pasal 32 dan 35 UU ITE Pasal yang sangat kejam dengan hukuman 8 dan 12 tahun, yang dibuat untuk menghukum pembobol bank, pemanipulator data, hacker keamanan negara, dipakai oleh Jokowi, mantan Presiden, untuk mempidanakan RRT!,” tegasnya.

Ia semakin prihatin karena Jokowi tidak pernah secara terbuka mengakui peran dalam penerapan pasal tersebut melalui berbagai wawancara atau pernyataan resmi.

“Dan parahnya lagi, dalam pernyataan-pernyataan yang dia sampaikan di media, dia tidak mengakui!," lanjutnya.

Dampak dari tindakan ini dinilai melampaui ranah hukum dan politik karena memicu kegelisahan luas serta memperburuk polarisasi di tengah masyarakat.

“Ini lebih dari sekedar kekejaman bagi rakyat, lebih dari itu, dia telah membuat kegaduhan, dan perpecahan di masyarakat, meningkatkan rasa saling curiga,” sebutnya.

Tifa juga menyesalkan keterlibatan generasi muda yang seharusnya menjadi harapan bangsa justru dijadikan bagian dari dinamika konflik tersebut.

“Dan yang paling mengerikan, dia melibatkan anak-anak muda sebagai termul, yang seharusnya menjadi aset bangsa, bukan sekedar berhenti menjadi termul. Berapa jahatnya,” katanya.

Lebih dalam lagi, ia mengaitkan kebohongan dengan konsekuensi tersembunyi yang menyerang kesehatan fisik secara perlahan.

Tubuh manusia tidak dapat terus menerus menanggung beban emosional dari pembohongan tanpa membayar harga mahal.

“Tetapi yang lupa, ada biaya yang harus ditanggung oleh tubuh, yang tidak dia sadari, biaya emosi yang menghantam imunitas tubuh!,” imbuhnya.

Biaya tak terlihat ini tidak tercantum dalam catatan apa pun namun secara diam-diam merusak pikiran, organ, serta mekanisme pertahanan alami.

“Biaya ini tidak tercatat di neraca keuangan, tidak tampak di laporan kekuasaan, tetapi perlahan menggerogoti pikiran, tubuh, dan sistem imun. Ia bekerja senyap, konsisten, dan kejam,” terangnya.

Dari sudut pandang medis serta psikologi, sikap jujur memberikan efek positif bagi keseimbangan biologis dan mental.

“Kejujuran, meski sering terasa pahit di awal, sejatinya adalah berkat biologis dan psikologis,” ungkapnya.

Ketika seseorang transparan, kondisi otak dan tubuh berada dalam keselarasan tanpa tekanan batin atau kecemasan berlebih.

“Otak berada dalam kondisi koheren. Tubuh pun relatif tenang. Sistem imun bekerja tanpa gangguan stres kronis,” katanya.

Berbeda halnya dengan kebohongan yang terus menumpuk seperti kewajiban pikiran yang tak pernah lunas.

“Sebaliknya, kebohongan adalah utang mental. Setiap kebohongan menuntut kebohongan lanjutan untuk menutupinya,” Tifa menuturkan.

Berdasarkan ilmu saraf dan psiko-neuro-imunologi, pembohongan kronis memicu tekanan berkelanjutan yang meningkatkan inflamasi serta melemahkan daya tahan tubuh.

“Tubuh membaca kebohongan sebagai ancaman yang tak pernah selesai,” tegasnya.

Dalam kasus Jokowi, kontroversi ijazah yang berlarut-larut telah menjadi beban emosional bersama sekaligus tekanan psikobiologis bagi yang terlibat utama.

“Dalam konteks Jokowi, polemik yang tak kunjung usai terutama soal ijazah bukan sekadar perkara hukum atau politik. Ia telah berubah menjadi beban emosi kolektif dan, lebih dalam lagi, beban psikobiologis bagi subjek utamanya,” jelasnya.

Penjelasan setengah hati serta keterbukaan yang ditunda hanya menambah akumulasi ketegangan bagi semua pihak.

“Masalahnya, tubuh tidak bisa diajak berbohong," Tifa menuturkan.

Walau narasi dapat direkayasa dan mekanisme dapat diatur, sistem kekebalan hanya merespons keaslian sejati.

“Ketika seseorang terus hidup dalam ketegangan mempertahankan kebohongan, tubuh akan menagihnya dalam bentuk kelelahan, penyakit autoimun, inflamasi kronis, atau kerusakan kesehatan yang tampak tidak ada sebabnya,” tukasnya.

Akhirnya, berbohong terbukti jauh lebih mahal daripada bersikap jujur dalam segala aspek kehidupan.

“Di titik ini, berbohong menjadi jauh lebih mahal daripada jujur. Mahal secara mental, mahal secara emosional, dan mahal secara biologis,” tandasnya.

Pengalaman sejarah menunjukkan kekuasaan mungkin bertahan dengan manipulasi tetapi ketenangan serta kesehatan hanya terjaga melalui integritas.

“Pada akhirnya, bukan pengadilan yang paling keras, melainkan tubuh sendiri yang akan memutuskan vonisnya," kuncinya.

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

-->

Below Post Ad

-->

Ads Bottom

-->
Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved