Repelita Aceh - Situasi kemanusiaan di Aceh setelah banjir besar akhir November 2025 semakin mengkhawatirkan dengan ribuan warga kehilangan tempat tinggal dan akses dasar yang terhambat.
Banyak masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan air bersih sementara pasokan listrik belum pulih sepenuhnya serta infrastruktur umum mengalami kerusakan berat.
Kondisi ini telah berkembang menjadi krisis yang memerlukan respons luar biasa dari pemerintah pusat.
Dosen UIN Ar-Raniry di bidang siyasah syariyyah, Tgk. Ajidar Matsyah, menyamakan penderitaan rakyat Aceh saat ini dengan apa yang dialami penduduk Gaza di Palestina.
“Kondisi kemanusiaan di Aceh hari ini sangat memprihatinkan dan mirip dengan apa yang dialami rakyat Gaza. Mereka kehilangan rumah, kehilangan anggota keluarga, kesulitan air bersih, listrik tidak stabil, dan hidup dalam situasi yang serba darurat,” ujarnya.
Ajidar menekankan bahwa banjir kali ini bukan lagi peristiwa rutin melainkan bencana dengan dampak luas yang menuntut perhatian nasional.
“Ini bukan sekadar banjir musiman. Ini adalah krisis kemanusiaan yang menuntut kehadiran negara secara penuh dan serius,” katanya.
Ia mengkritik pemerintah pusat karena belum menetapkan status bencana nasional untuk Aceh.
Penundaan status tersebut menyebabkan proses penanganan menjadi lambat dan sumber daya bantuan terbatas.
“Ketika status bencana nasional belum ditetapkan, maka ruang gerak penanganan menjadi sempit. Padahal rakyat sedang berada dalam kondisi yang sangat genting,” tegasnya.
Ajidar juga menyoroti pembatasan masuknya bantuan dari luar negeri.
Menurutnya, prinsip kemandirian tidak boleh menghalangi upaya penyelamatan nyawa warga.
“Jika kemampuan negara terbatas, maka membuka akses bantuan internasional adalah keharusan moral. Jangan sampai rakyat menjadi korban dari klaim mampu yang tidak sesuai dengan realitas lapangan,” ujarnya.
Ia menyebut situasi ini sebagai kemiripan ironis dengan pemblokiran bantuan di wilayah konflik.
“Blokade bantuan selama ini hanya kita saksikan di Gaza. Hari ini, secara tidak langsung, rakyat Aceh juga merasakannya. Jangan biarkan Aceh menjadi Gaza kedua di Asia Tenggara,” katanya.
Ajidar membandingkan dampak banjir ini dengan peristiwa tsunami tahun 2004 dari segi kehancuran sosial dan penderitaan masyarakat.
“Bagi rakyat Aceh, ini seperti tsunami jilid dua. Bedanya, kali ini tidak diawali gempa bumi, tetapi banjir besar yang sama-sama menghancurkan kehidupan,” ujarnya.
Ia menyerukan kepada pemerintah untuk segera bertindak dengan menetapkan status bencana nasional.
“Menetapkan Aceh sebagai bencana nasional bukan soal politik atau pencitraan, tetapi soal keberpihakan negara pada kemanusiaan. Negara harus hadir, cepat, dan bermartabat di tengah penderitaan rakyatnya,” pungkasnya.
Editor: 91224 R-ID Elok

