
Repelita Morowali - Sebuah bandara khusus yang dimiliki PT Indonesia Morowali Industrial Park di wilayah Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah telah memicu perdebatan publik yang cukup serius. Menteri Pertahanan Republik Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin sebelumnya telah mengungkap adanya temuan mengenai operasional bandara tersebut yang diduga berjalan tanpa izin dan lepas dari pengawasan instansi bea cukai serta imigrasi.
Kontroversi ini semakin berkembang setelah beredar sebuah rekaman wawancara dengan seorang mantan karyawan perusahaan yang menyuarakan sejumlah fakta mengejutkan. Dalam rekaman itu diungkapkan adanya perubahan status perizinan bandara, pola masuk tenaga kerja asing, serta indikasi penerbangan internasional yang tidak terdokumentasi secara resmi.
Identitas mantan karyawan tersebut sengaja disembunyikan namun kesaksiannya membongkar cerita yang selama bertahun-tahun tersembunyi dari pengetahuan masyarakat luas. Berbagai kejadian di balik kawasan industri nikel itu kini menjadi suatu hal yang mendesak untuk segera ditelusuri dan tidak boleh lagi diabaikan begitu saja.
Sumber menyatakan bahwa pembangunan bandara khusus yang dimulai sejak tahun 2015 itu pada dasarnya tidak ditujukan untuk kepentingan umum atau masyarakat lokal. Fasilitas tersebut justru dibangun dengan tujuan utama untuk memperlancar dan mempercepat perpindahan tenaga kerja asing yang berasal dari Tiongkok.
Mantan karyawan yang biasa dipanggil Karyawan X itu mengaku masih mengingat dengan sangat jelas periode ketika ia terlibat dalam proses pembukaan lahan hingga tahap persiapan konstruksi bandara. Ia menegaskan bahwa bandara memang sengaja dibangun untuk memudahkan arus mobilisasi pekerja dari luar negeri tersebut.
"Sebenarnya memang bandara itu diniatkan untuk mempermudah mobilisasi para tenaga kerja asing, sekali perjalanan itu rata-rata antara 50 sampai 100 orang setiap hari TKA Cina," ungkapnya dilansir dari Program 'Rakyat Bersuara' di iNews TV, Rabu (3/12/2025) .
Pernyataan tersebut semakin memperjelas gambaran bahwa bandara khusus IMIP berfungsi sebagai pintu masuk massal bagi pekerja asing tanpa sepengetahuan publik. Proses mobilisasi besar-besaran tersebut dikabarkan berlangsung setiap hari dengan rute penerbangan langsung dari Beijing menuju Indonesia.
Penerbangan tersebut diketahui mendarat di beberapa bandara domestik seperti Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan Bandara Haluoleo sebelum melanjutkan perjalanan ke Morowali. Seluruh proses perpindahan manusia dalam skala besar itu disebutkan telah berjalan bertahun-tahun dengan intensitas yang tetap dan teratur.
Aktivitas tersebut berlangsung di luar pantauan tidak hanya masyarakat setempat namun juga pemerintah daerah yang seharusnya memiliki kewenangan penuh. Persoalan menjadi semakin rumit ketika Karyawan X mulai menguraikan kondisi di dalam kawasan industri yang terisolasi dan tertutup dari akses luar.
Dijelaskannya bahwa kawasan IMIP dilindungi oleh sistem keamanan khusus yang dinamai Morowali Security Service atau disingkat MSS. Sistem keamanan swasta itu dinilai membuat kawasan tersebut menjadi sangat sulit untuk dimasuki oleh pihak manapun termasuk publik dan aparat negara.
"Polisi, tentara bahkan bupati pun enggak bisa masuk," katanya.
Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan mendasar tentang di mana posisi dan kewenangan negara ketika pejabat pemerintah sendiri mengalami kesulitan mengakses wilayah hukum Indonesia. Kesaksian lainnya yang juga cukup mencengangkan adalah mengenai prosedur evakuasi yang dilakukan terhadap ribuan tenaga kerja asing.
Evakuasi tersebut secara rutin dilakukan setiap kali ada inspeksi mendadak atau kunjungan dari pejabat negara yang datang ke lokasi. Karyawan X menerangkan bahwa dua pintu gerbang utama di kawasan itu dilengkapi dengan sistem alarm khusus sebagai tanda peringatan.
Ketika alarm atau sirene berbunyi menandakan kedatangan tamu penting negara maka semua tenaga kerja asing akan segera dipindahkan. Mereka kemudian diangkut menggunakan bus shuttle menuju barak-barak tersembunyi yang berlokasi di dalam area hutan sekitar kawasan industri.
"Ketika ada kunjungan pejabat sirene bunyi disiapkan shuttle bus ribuan (tenaga kerja asing) bisa digeser langsung ke hutan," ungkapnya.
Selain bandara, aktivitas di pelabuhan privat milik perusahaan juga menunjukkan adanya kejanggalan yang serius menurut kesaksian tersebut. Pelabuhan yang digunakan untuk bongkar muat kontainer-kontainer dari Tiongkok itu sama sekali tidak melibatkan pengawasan bea cukai maupun imigrasi.
Karyawan X mengaku pernah menyaksikan secara langsung proses pembukaan kontainer yang berisi berbagai barang seperti alat berat, perkakas, dan produk-produk lainnya dari Tiongkok. Seluruh barang tersebut masuk ke wilayah Indonesia tanpa disertai dokumen resmi atau melalui prosedur pemeriksaan yang berlaku.
“Pelabuhan privat tidak ada sama sekali bea cukai. Saya lihat sendiri kontainer dibuka, barang-barang dari Cina tanpa bea cukai tanpa imigrasi," ucapnya.
Motivasi di balik kesediaan Karyawan X untuk muncul dalam wawancara dan mengungkap informasi sensitif ini menjadi pertanyaan yang sangat penting. Ia menjelaskan bahwa keputusan untuk berbicara merupakan bagian dari tanggung jawab moralnya sebagai orang yang melihat langsung seluruh kejadian.
Rasa prihatin yang mendalam terhadap nasib masyarakat lokal yang menanggung berbagai dampak negatif dari operasi industri juga menjadi alasan utamanya. Karyawan X merasa bahwa kegiatan industri yang berlangsung justru lebih banyak merugikan warga setempat dan tidak memberikan kebahagiaan.
"Saya kadang prihatin ya melihat tambang-tambang kita itu dikuasai oleh bukan kita masyarakat bukan merasakan kebahagiaan, mereka menderita," sambungnya.
Ia memandang bahwa situasi yang terjadi tidak hanya mendatangkan kerugian bagi penduduk lokal tetapi juga secara nyata melemahkan kedaulatan negara Indonesia. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

