Breaking Posts

-->
6/trending/recent

Hot Widget

-->
Type Here to Get Search Results !

Greenpeace-Walhi Kompak Sebut Banjir Sumatra Bukan Sekadar Anomali Cuaca: Kegagalan Total Kelola SDA

Repelita Jakarta - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat pada akhir November 2025 mendapat tanggapan tegas dari organisasi lingkungan hidup.

Greenpeace bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi sepakat menyatakan peristiwa ini bukan sekadar anomali cuaca belaka.

Kedua lembaga tersebut melihat musibah ini sebagai pantulan nyata dari krisis iklim yang dipicu oleh runtuhnya daya dukung lingkungan.

Krisis itu diyakini lahir dari kebijakan pembangunan yang terlalu mengandalkan praktik ekstraktivisme.

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menekankan bahwa fenomena Siklon Tropis Senyar yang membawa hujan ekstrem memang jarang terjadi di wilayah khatulistiwa.

Namun skala kerusakan yang sangat besar dan ditemukannya banyak gelondongan kayu hanyut merupakan tanda jelas bahwa krisis iklim telah sampai di depan mata.

Kondisi ini bertemu dengan situasi lingkungan yang sudah sangat kritis sehingga memperparah dampak bencananya.

Arie Rompas menyoroti lemahnya tata kelola penggunaan lahan yang terjadi secara meluas di seluruh Pulau Sumatera.

Hampir semua Daerah Aliran Sungai atau DAS di pulau itu berada dalam status yang sangat memprihatinkan.

Tutupan hutan alam di wilayah-wilayah DAS tersebut bahkan tercatat kurang dari dua puluh lima persen.

Kondisi ini menunjukkan tingkat kekritisan yang sangat tinggi pada sebagian besar daerah aliran sungai di Sumatera.

Ia menambahkan bahwa batas tutupan hutan ideal dalam sebuah DAS seharusnya mencapai tiga puluh persen berdasarkan Undang-Undang Kehutanan yang berlaku sebelum adanya perubahan melalui Omnibus Law.

Secara lebih spesifik, Rompas menjadikan Daerah Aliran Sungai Batang Toru di Sumatera Utara sebagai contoh yang unik sekaligus tragis.

Di area hulu DAS tersebut, deforestasi dalam skala besar telah berlangsung akibat aktivitas pertanian dan perkebunan.

Sementara itu, di wilayah tengah yang masih memiliki hutan, kawasan itu juga mendapat tekanan dari aktivitas pertambangan dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air.

Kombinasi antara kerusakan di hulu dan kondisi topografi sungai yang curam serta pendek telah menciptakan karakteristik banjir bandang yang disertai longsor.

Fungsi hutan alam sebagai penahan air dan tanah sudah menurun secara drastis.

Akibatnya, material seperti kayu dan tanah langsung terbawa deras oleh aliran air.

Hal tersebut menyebabkan sedimentasi yang parah dan pada akhirnya merenggut banyak nyawa manusia.

Greenpeace juga mendesak Pemerintah, termasuk Presiden Prabowo Subianto, untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh kebijakan yang berbasis ekstraktivisme dan pertanian skala besar.

Organisasi lingkungan tersebut mengkritik pandangan yang masih memandang sumber daya alam semata sebagai modal ekonomi yang wajib dieksploitasi.

Pandangan seperti itu dinilai abai terhadap dampak jangka panjang yang bisa ditimbulkan.

Pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan mampu mencapai angka delapan persen justru berpotensi memperluas ekspansi investasi yang bersifat merusak lingkungan.

Ekonomi yang dibangun dengan susah payah bisa hancur dalam sekejap jika bencana alam datang menghantam.

Sebagai langkah respons yang cepat, Greenpeace juga mendesak Pemerintah agar segera menetapkan status Bencana Nasional untuk musibah di Sumatera.

Penetapan status tersebut dinilai sangat krusial agar semua sumber daya nasional dapat diintegrasikan dengan cepat untuk menjangkau korban.

Bantuan harus sampai kepada mereka yang kehilangan rumah, mata pencaharian, maupun anggota keluarga yang hingga kini masih dalam status hilang.

Pendekatan penanganan bencana yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dinilai masih bersifat reaktif dan tidak komprehensif.

Pemerintah diharapkan dapat memastikan distribusi bantuan berjalan lancar dan tepat waktu.

Selain itu, perlu dirumuskan kebijakan terintegrasi untuk pemulihan ekologi jangka panjang di wilayah-wilayah Daerah Aliran Sungai yang telah berada dalam kondisi kritis.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jerry Even Sembiring, menyatakan pendapat yang senada dengan Greenpeace.

Bencana di Sumatera dinilainya sebagai cerminan dari potensi bencana ekologis berskala besar yang mengancam seluruh wilayah Indonesia.

Menurut analisis Walhi, setiap daerah memiliki tingkat kerentanan bencana yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik ekosistemnya.

Masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan atau wilayah dengan kelerengan lebih dari tiga puluh derajat sangat rawan terhadap ancaman banjir dan tanah longsor.

Kerentanan semacam ini tidak hanya terjadi dan terbatas di Pulau Sumatera saja.

Walhi secara tegas memasukkan beberapa wilayah padat penduduk dan kawasan industri ke dalam daftar daerah yang berisiko tinggi mengalami bencana ekologis di masa depan.

Hampir seluruh wilayah Pulau Jawa yang memiliki tutupan hutan atau areal hutan kurang dari tiga puluh persen dinilai sangat rentan terhadap berbagai bencana.

Kemudian, kawasan Sulawesi dengan aktivitas pertambangan mineral kritis yang terus meningkat juga berpotensi melahirkan berbagai bencana ekologis.

Organisasi ini menuntut pemerintah untuk lebih serius dalam memanfaatkan teknologi canggih guna memantau tren cuaca ekstrem yang kian tidak terprediksi.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

-->

Below Post Ad

-->

Ads Bottom

-->
Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved