.jpeg)
Repelita Bireuen - Rekaman video percakapan pejabat daerah saat meninjau lokasi banjir di Kabupaten Bireuen, Aceh, kini menjadi pusat perhatian masyarakat luas karena dianggap tidak peka terhadap penderitaan warga yang masih bergulat dengan dampak bencana dahsyat tersebut.
Dalam rekaman yang menyebar cepat di media sosial, Bupati Bireuen, Mukhlis Takabeya, terlihat berbincang dengan Kapolres setempat sambil mengamati area yang baru saja dilanda banjir bandang, di mana ratusan rumah warga terendam lumpur dan infrastruktur vital seperti jalan serta jembatan mengalami kerusakan parah.
Alih-alih membahas strategi penyaluran bantuan mendesak atau rencana pemulihan infrastruktur yang terputus, pernyataan bupati justru beralih ke analisis kesesuaian lahan untuk pertanian, menyebutkan bahwa sifat tanah yang lembek dan halus di kawasan tersebut kurang ideal untuk konstruksi bangunan permanen, namun sangat potensial untuk budidaya kelapa sawit dalam skala besar.
Ujaran tersebut langsung memicu gelombang kritik dari warga setempat dan pengguna internet yang menyaksikan klip tersebut, karena dianggap lebih menitikberatkan pada peluang ekonomi jangka panjang daripada kebutuhan darurat seperti pembersihan lumpur, distribusi makanan bergizi, dan pemulihan akses transportasi yang membuat sebagian penduduk terisolasi.
Banyak yang berpendapat bahwa momen kunjungan lapangan seharusnya menjadi kesempatan bagi pemimpin untuk menunjukkan solidaritas langsung, seperti mendengarkan keluhan warga yang kehilangan harta benda atau memastikan alokasi dana darurat tiba tepat waktu, bukan menggeser fokus ke isu agronomi yang bisa ditunda hingga kondisi stabil.
Warga di lokasi kejadian, yang mayoritas masih sibuk mengangkut barang rusak dari reruntuhan rumah mereka atau berlindung di tenda-tenda pengungsian sementara, tampak terkejut dengan arah diskusi tersebut, di mana harapan mereka hanyalah arahan konkret untuk normalisasi kehidupan sehari-hari yang terganggu parah.
Situasi lapangan yang masih kacau balau, dengan genangan air hitam pekat dan tumpukan puing di mana-mana, semakin menekankan urgensi respons pemerintah yang berorientasi pada kemanusiaan, termasuk koordinasi dengan tim relawan untuk evakuasi total dan pencegahan penyakit akibat sanitasi buruk.
Kontroversi ini pun merebak menjadi perdebatan nasional tentang etika komunikasi pejabat publik di tengah krisis, di mana setiap kata yang terucap bisa diinterpretasikan sebagai indikator prioritas kebijakan, sehingga berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap upaya penanganan bencana secara keseluruhan.
Meskipun pembahasan potensi tanah untuk komoditas perkebunan mungkin memiliki nilai strategis bagi pembangunan ekonomi daerah di masa depan, penempatan waktu penyampaiannya dianggap prematur dan kurang empati, terutama ketika penyintas masih trauma dan membutuhkan dukungan moral yang kuat dari figur otoritas.
Publik kini menyerukan agar pejabat lebih selektif dalam memilih topik saat berada di zona darurat, dengan menekankan gestur sederhana seperti berbagi cerita pribadi warga atau mengumumkan komitmen anggaran tambahan, yang diyakini lebih efektif membangun rasa aman di kalangan korban.
Hingga saat ini, penduduk Bireuen terus menantikan akselerasi proses rekonstruksi, mulai dari pembukaan rute darurat hingga program rehabilitasi rumah tangga, sambil berharap langkah pencegahan jangka panjang seperti penguatan tanggul sungai bisa segera dirancang agar tragedi banjir tidak terulang di musim hujan mendatang.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

