Repelita Jakarta - Di tengah keraguan masyarakat terhadap pengelolaan donasi untuk korban bencana alam, pendiri Malaka Project Ferry Irwandi muncul dengan pendekatan yang menekankan keterbukaan total.
Ia tidak hanya mengajak publik untuk berdonasi, melainkan juga membuka seluruh detail penggunaan dana melalui halaman khusus di Instagram yang dapat diakses secara bebas oleh siapa pun.
Pilihan untuk menerapkan transparansi penuh ini diakui berisiko tinggi karena membuka peluang untuk pengawasan ketat, kritik, hingga tuduhan tidak berdasar.
Namun Ferry tetap memilih jalur tersebut sebagai wujud penghargaan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh para penyumbang.
Hingga 20 Desember 2025, dana yang sudah disalurkan mencapai Rp7,613 miliar.
Nominal tersebut mencerminkan solidaritas luas dari masyarakat yang bersatu dalam semangat membantu sesama yang tertimpa musibah.
Sementara itu, Rp2,62 miliar telah dialokasikan untuk tahapan distribusi selanjutnya.
Dana cadangan darurat sebesar Rp482 juta juga disiapkan untuk menghadapi kebutuhan mendadak.
Semua pencatatan dilakukan secara teliti dan dijelaskan secara gamblang untuk menunjukkan bahwa setiap kontribusi memiliki arah penggunaan yang jelas.
Dana tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk bantuan konkret seperti beras, air minum, makanan, serta peralatan esensial lainnya.
Sebanyak 106 ton beras sudah dibagikan kepada korban.
Ditambah lagi 55 ton beras yang sedang dalam proses pengiriman ke berbagai lokasi terdampak.
Air bersih sebanyak 69.000 liter serta 14.100 porsi makanan siap saji juga telah sampai di tangan yang membutuhkan.
Barang-barang tersebut mungkin tampak biasa dalam daftar, tetapi di lapangan memberikan arti besar berupa kelangsungan hidup dan harapan bagi para penyintas.
Bantuan lain mencakup pemasangan Starlink untuk memulihkan jaringan komunikasi yang terputus.
Genset serta panel surya disediakan agar kegelapan malam tidak sepenuhnya mendominasi.
Ekskavator dikerahkan untuk membuka jalur akses, membersihkan puing, serta mempercepat proses rehabilitasi.
Perlengkapan seperti selimut, kasur, fasilitas mandi cuci kakus darurat, tenda keluarga, lampu sorot, obat-obatan, dan paket kebersihan turut didistribusikan.
Semua item tersebut dipilih berdasarkan observasi langsung terhadap kebutuhan mendesak di wilayah bencana.
Banyak pihak mempertanyakan bagaimana dana terbatas bisa menghasilkan dampak sebesar itu.
Ferry menjawab dengan berbagi prinsip pengelolaan yang diterapkan, bukan untuk mencari pujian melainkan agar bisa menjadi pembelajaran bersama.
Prinsip utama adalah menjaga efisiensi dalam setiap langkah pengeluaran.
Harga selalu dibandingkan secara cermat, negosiasi dilakukan secara intensif, dan prioritas ditentukan berdasarkan urgensi bagi korban.
Efisiensi di sini diterapkan sebagai bentuk pertanggungjawaban, bukan penghematan semata.
Tidak ada pengeluaran yang dilakukan atas dasar rutinitas atau prestise belaka.
Setiap dana diperlakukan sebagai amanah yang harus dijaga integritasnya.
Prinsip selanjutnya adalah membangun kerja sama dengan berbagai pihak.
Ferry tidak bekerja sendiri, melainkan berkolaborasi dengan TNI dan Polri untuk pengangkutan logistik awal menggunakan pesawat tanpa tarif.
Kerja sama juga terjalin dengan sektor swasta serta kelompok petani lokal.
Distribusi produk pertanian seperti cabai dilakukan bersama Rumah Tani dengan pembagian biaya yang adil.
Pesawat yang kembali ke Jakarta dimanfaatkan untuk mengangkut hasil bumi dari daerah terdampak, sehingga optimalisasi sumber daya tercapai.
Prinsip paling menantang adalah menanggung seluruh biaya operasional secara pribadi.
Ferry menjamin bahwa tidak ada satu rupiah pun dari donasi yang digunakan untuk keperluan tim.
Semua pengeluaran seperti transportasi, konsumsi, akomodasi, dan bahan bakar ditutup dari dana pribadi Ferry serta rekannya Malaka.
Termasuk penyewaan pesawat Susi Air serta kebutuhan harian di lapangan.
Keputusan ini memang berat secara finansial dan fisik, tetapi menjadi garis etika yang dijaga teguh.
Di balik laporan yang tertata rapi, terdapat pengorbanan waktu, tenaga, serta tekanan psikologis yang dialami selama berada di zona bencana.
Hal-hal tersebut tidak tercantum dalam catatan keuangan, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari proses.
Ferry menerima semua itu sebagai bagian dari tanggung jawab atas amanah yang diemban.
Baginya, menjaga kepercayaan publik sama pentingnya dengan menyalurkan bantuan itu sendiri.
Kisah ini mengajarkan bahwa keterbukaan bukan hanya alat komunikasi, melainkan sikap dasar dalam mengelola kebaikan bersama.
Kepercayaan tidak datang secara otomatis, melainkan dibangun melalui fakta, tindakan nyata, serta kesiapan untuk diawasi secara terbuka.
Dari pengalaman Ferry Irwandi, pengelolaan donasi membutuhkan integritas tinggi, rasa empati mendalam, serta keteguhan untuk memikul beban ekstra.
Di saat bencana, penyaluran bantuan memang krusial.
Namun mempertahankan amanah dari masyarakat merupakan tugas kemanusiaan yang setara gentingnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

