Repelita Jakarta - Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla membandingkan penanganan bencana hidrometeorologi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dengan pengalaman tsunami Aceh tahun 2004, di mana penutupan bantuan internasional membuat beban domestik semakin berat.
Ia menyoroti perbedaan signifikan dalam sumber pendanaan antara kedua peristiwa tersebut.
Pada tsunami Aceh 2004, saat ia mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia mendapat limpahan dukungan masif dari negara-negara sahabat serta lembaga internasional.
Kondisi itu sangat berbeda dengan situasi bencana saat ini yang mengandalkan sepenuhnya kemampuan dalam negeri.
Pernyataan tersebut disampaikan Jusuf Kalla usai acara BOG 40 Awards oleh Bisnis Indonesia Group pada Senin, 8 Desember 2025.
“Dulu juga Aceh itu full (dibantu) pusat dan luar negeri. Dan (bantuan) itu internasional paling banyak dulu. Sekarang, waktu (bantuan) internasional ditutup, maka juga perlu kita kemampuan dalam negeri lebih meningkatkan,” katanya seperti dikutip pada Kamis, 11 Desember 2025.
Jusuf Kalla menekankan bahwa tanpa aliran bantuan dari luar, pemerintah pusat harus menggenjot kapasitas domestik secara maksimal.
Beberapa kepala daerah telah menyuarakan keterbatasan anggaran wilayah mereka menghadapi dampak bencana yang terus meluas.
Jumlah korban jiwa hingga Senin, 8 Desember 2025, telah mencapai 961 orang, menambah urgensi penanganan cepat.
Ia mendorong percepatan intervensi pusat di tiga provinsi terdampak tersebut.
Masa krusial dalam mitigasi bencana tidak boleh terlewat begitu saja.
Meski tsunami 2004 berskala lebih besar, wilayah terdampaknya relatif terfokus pada Banda Aceh dan Meulaboh.
“Pengalaman dulu tsunami, walaupun ini tsunami lebih besar. Cuma tsunami itu lebih terbatas Banda Aceh dengan Meulaboh. [Bencana hidrometeorologi] ini meluas,” jelasnya.
Proses rehabilitasi diperkirakan akan berlangsung panjang, hingga dua atau tiga tahun untuk memulihkan fasilitas publik dan hunian warga.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

