
Repelita Jakarta - Penulis Balqis Humaira menyampaikan refleksi mendalam atas pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut Indonesia mampu mengatasi bencana tanpa bantuan luar negeri.
Kalimat “Terima kasih concern anda, kami mampu. Indonesia mampu mengatasi bencana ini.” awalnya disambut positif sebagai wujud kepemimpinan yang tegas dan mandiri.
Pernyataan tersebut dianggap mencerminkan sikap tidak merendah atau bergantung pada pihak asing.
Namun, refleksi lebih lanjut memunculkan pertanyaan kritis mengenai makna sebenarnya dari kemampuan yang dimaksud.
Apakah kemampuan itu merujuk pada institusi negara atau justru ketangguhan rakyat yang sering kali terpaksa bertahan sendiri.
Balqis Humaira membayangkan nasib warga yang menghadapi banjir berulang, ibu rumah tangga yang bergantung pada dapur umum, serta relawan yang berjuang tanpa akses memadai dari pemerintah.
Mereka inilah yang selama ini selalu dipaksa untuk tangguh sementara negara kerap mengandalkan resiliensi tersebut.
Bencana alam sering dikaitkan semata dengan faktor cuaca ekstrem atau curah hujan tinggi.
Padahal, dampaknya diperburuk oleh kebijakan seperti pemberian izin tambang, ekspansi perkebunan, perubahan fungsi lahan, serta pengawasan yang lemah.
Pernyataan kemampuan nasional justru memicu pertanyaan mengapa pencegahan selalu tertinggal dari kerusakan yang terjadi.
Lokasi bencana cenderung berulang, korban sering dari kelompok rentan yang sama, serta respons tampak kurang antisipatif.
Kalimat tegas tersebut berpotensi menjadi beban berat karena mengikat janji kepada jutaan rakyat.
Kegagalan setelahnya tidak lagi dilihat sebagai keterbatasan sumber daya melainkan pelanggaran atas komitmen yang diucapkan.
Harga diri bangsa bukan terletak pada penolakan bantuan melainkan kemampuan memastikan rakyat tidak menjadi korban kebijakan yang salah.
Nasionalisme sejati harus tercermin dalam tindakan nyata di lapangan bukan hanya pada slogan atau pidato.
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pernyataan besar sering kali tidak diikuti oleh perbaikan sistem yang konsisten.
Korban bencana membutuhkan kehadiran konkret berupa logistik, air bersih, obat-obatan, serta kepastian masa depan.
Kalimat “Indonesia mampu” bisa menjadi simbol kekuatan jika diwujudkan melalui kerja sunyi, cepat, dan tepat sasaran.
Jika tidak, pernyataan itu berisiko berubah menjadi pengingat atas harapan yang kembali kandas.
Refleksi ini bukan serangan pribadi melainkan perdebatan internal antara harapan optimis dan kewaspadaan berdasarkan pengalaman.
Pada akhirnya, yang paling sering membuktikan kemampuan bukanlah negara melainkan rakyat yang terus ditinggalkan dalam ketangguhannya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

