
Repelita Jakarta - Pemerintah kembali menghidupkan rencana redenominasi rupiah yang selama ini sempat tertunda. Kebijakan ini dinilai mampu memperkuat posisi rupiah agar lebih kompetitif di kancah internasional.
Langkah redenominasi tersebut mendapat perhatian dari sejumlah kalangan ekonomi. Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menyebut, penyederhanaan nominal rupiah menjadi satuan yang lebih kecil dapat memudahkan aktivitas ekonomi sekaligus memperkuat daya saing mata uang nasional.
Trioksa menjelaskan, setelah redenominasi diterapkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar akan disesuaikan tanpa mengubah nilai riilnya. Misalnya, USD 1 yang sebelumnya setara Rp 16.000 akan menjadi Rp 16. Dengan begitu, transaksi keuangan akan lebih efisien dan potensi salah hitung bisa ditekan.
Meski demikian, ia mengingatkan pentingnya waktu yang tepat dalam menerapkan kebijakan ini. Menurutnya, redenominasi hanya akan efektif jika dilakukan saat ekonomi nasional stabil dan inflasi terkendali. Jika tidak diantisipasi dengan baik, langkah ini justru bisa memicu spekulasi harga dan mendorong lonjakan inflasi.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, perubahan nilai nominal mata uang ini juga memiliki efek psikologis terhadap masyarakat. Ia menjelaskan, berdasarkan studi ekonomi perilaku, masyarakat kerap merasa harga menjadi lebih murah pasca redenominasi, sehingga daya beli sementara bisa meningkat. Namun efek tersebut bersifat jangka pendek.
Wijayanto menambahkan, implementasi kebijakan redenominasi membutuhkan biaya besar, terutama untuk pencetakan uang baru dan kampanye edukasi publik. Ia memperkirakan kebutuhan anggaran mencapai Rp 4 hingga 5 triliun agar transisi berjalan lancar.
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menegaskan pentingnya koordinasi erat antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI). Menurutnya, jika disiapkan dengan matang dan dikomunikasikan secara efektif, redenominasi dapat meningkatkan efisiensi sistem pembayaran serta memperkuat citra stabilitas ekonomi nasional.
Yusuf juga menyoroti perlunya payung hukum yang jelas dalam Rancangan Undang-Undang Redenominasi agar tidak menimbulkan celah hukum pada kontrak dan transaksi. Ia menekankan, komunikasi publik harus menjadi prioritas agar masyarakat memahami bahwa redenominasi tidak menurunkan nilai uang mereka.
Sejarah menunjukkan, sejumlah negara seperti Turki, Polandia, dan Brasil berhasil melakukan redenominasi ketika ekonomi mereka stabil dan inflasi rendah. Keberhasilan itu diharapkan bisa menjadi acuan bagi Indonesia dalam mewujudkan kebijakan serupa.
Kebijakan redenominasi rupiah sendiri tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2025–2029 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menargetkan rancangan undang-undang terkait perubahan nilai rupiah dapat diselesaikan pada tahun 2027. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

