Repelita Jakarta - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai pemerataan transportasi publik di wilayah perkotaan, pedesaan, dan permukiman jauh lebih mendesak dibandingkan rencana memperpanjang jalur Kereta Cepat hingga Surabaya atau ujung timur Pulau Jawa.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno, menegaskan bahwa rencana pembangunan Kereta Cepat sampai Surabaya seharusnya dipandang sebagai keinginan, bukan kebutuhan mendesak bangsa saat ini.
Menurutnya, di tengah masih banyaknya persoalan utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), Presiden Prabowo Subianto sempat menyampaikan rencana agar proyek kereta cepat diteruskan sampai Banyuwangi, bukan hanya berhenti di Surabaya.
“Kereta cepat hingga Surabaya adalah sebuah keinginan, padahal yang kita butuhkan di Pulau Jawa adalah pondasi transportasi yang kuat dan merata,” ujarnya melalui keterangan tertulis pada Minggu, 9 November 2025.
Djoko menjelaskan bahwa kebutuhan paling mendesak bagi Pulau Jawa bukanlah pembangunan transportasi berkecepatan tinggi, melainkan penguatan sistem transportasi umum yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Ia menilai hal utama yang harus dilakukan adalah memperbaiki transportasi umum perkotaan dan pedesaan, menghidupkan kembali jalur rel mati (reaktivasi), memperluas jaringan angkutan kota dalam provinsi (AKDP), dan memastikan seluruh wilayah desa memiliki akses jalan yang layak.
Konektivitas antarkota di Jawa sudah terbilang memadai melalui Tol Trans Jawa dan jalur rel ganda. Namun, tantangan yang belum terselesaikan adalah minimnya integrasi transportasi di kawasan perkotaan dan perdesaan.
Djoko menyebut, tanpa pemerataan infrastruktur dan transportasi publik, efisiensi ekonomi masyarakat akan terhambat. Karena itu, pembenahan sistem transportasi publik seharusnya menjadi prioritas nasional sebelum melanjutkan megaproyek lain yang menyedot dana besar.
Ia juga menegaskan bahwa Indonesia bukan negara kontinental seperti Tiongkok, melainkan kepulauan yang menuntut pemerataan pembangunan transportasi lintas wilayah, bukan hanya terpusat di Pulau Jawa.
“Percepatan pembangunan harus beralih dan difokuskan pada wilayah-wilayah di luar Jawa,” tegasnya.
Data yang dikemukakan MTI menunjukkan bahwa di Pulau Jawa terdapat sekitar 30 kota, namun hanya 9 kota atau sekitar 30 persen yang memiliki transportasi umum modern dengan skema pembelian layanan.
Dari 85 kabupaten di Pulau Jawa, baru empat yang memiliki layanan transportasi umum modern, yakni Kabupaten Banyumas, Bekasi, Tuban, dan Bangkalan.
Djoko menambahkan bahwa transportasi berbasis jalan raya dan kereta di kawasan Bandung Raya serta Surabaya Raya justru perlu dikembangkan dalam bentuk commuter line, bukan proyek kereta cepat.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya menghadirkan transportasi perintis di pedesaan agar seluruh warga dapat menikmati layanan mobilitas yang terjangkau dan berkesinambungan.
Secara nasional hingga September 2025, hanya terdapat 29 kota di Indonesia yang memiliki transportasi publik formal. Sebagian besar masih jauh di bawah standar pelayanan minimal yang layak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan pemerintah provinsi, Pulau Jawa memiliki total 24.772 desa, dengan 8.563 di Jawa Tengah, 8.576 di Jawa Timur, 5.957 di Jawa Barat, 438 di Yogyakarta, dan 1.238 di Banten.
Namun, jumlah angkutan pedesaan yang masih beroperasi kurang dari 5 persen, dan mayoritas armada berusia lebih dari 10 tahun.
Oleh karena itu, Djoko mendesak pemerintah untuk mengalihkan fokus kebijakan transportasi ke arah pemerataan yang menyentuh masyarakat luas, bukan sekadar mengejar proyek-proyek prestisius yang tidak menyentuh kebutuhan dasar publik. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

