
Repelita Hanoi - Dalam beberapa pekan terakhir, toko-toko emas di Hanoi dan Ho Chi Minh City kembali dipadati warga.
Antrean panjang tampak sejak pagi, sebagian besar datang untuk membeli emas batangan dan perhiasan yang kini mulai langka di pasaran.
Fenomena ini terjadi di tengah lonjakan harga emas dunia yang mencapai 4.380 dolar AS per ounce, membuat masyarakat Vietnam kembali demam emas seperti masa-masa krisis ekonomi dulu.
Bagi warga Vietnam, emas bukan sekadar logam mulia.
Ia adalah simbol keamanan, perlindungan, dan warisan yang dijaga lintas generasi.
“Sekarang mereka tidak jual emas batangan lagi, hanya cincin dan dibatasi jumlahnya,” ujar Le Thi Minh Tam, 67 tahun, yang sudah berminggu-minggu mencari emas untuk mahar pernikahan anaknya, Minggu, 9 November 2025.
Namun, situasi ini justru menjadi ujian bagi pemerintah Vietnam.
Kebiasaan menimbun emas membuat sebagian besar kekayaan rakyat tidak masuk ke sistem keuangan formal, menghambat sirkulasi uang di perekonomian nasional.
Nguyen Kim Hue, pedagang makanan daring di Ho Chi Minh City, mengaku sudah menabung emas sejak pertengahan tahun lalu.
Harga yang semula 120 juta dong per tael kini melonjak jadi 147 juta dong, tetapi ia tetap membeli sedikit demi sedikit.
“Saya merasa lebih aman pegang emas daripada menabung di bank,” katanya.
Kebiasaan semacam ini menggambarkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan negara.
Banyak warga lebih memilih menyimpan emas di rumah dibanding menitipkannya di bank.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya mengatur pasar emas sejak lama.
Pada 2012, Bank Negara Vietnam sempat memonopoli impor dan produksi emas melalui perusahaan Saigon Jewelry Co untuk menekan spekulasi dan menjaga nilai mata uang dong.
Namun, kebijakan itu berujung pada kelangkaan pasokan dan memunculkan pasar gelap.
Kini, setelah 13 tahun, kebijakan monopoli itu dicabut demi meliberalisasi pasar.
Pemerintah menargetkan agar selisih harga emas domestik dan global yang kini mencapai 10–15 persen dapat ditekan hingga hanya 2–3 persen.
Meski begitu, pasokan tetap terbatas.
Tahun lalu, impor resmi hanya 13,5 ton dari kebutuhan tahunan 55 ton, tertinggi di Asia Tenggara.
Menurut laporan World Gold Council, sekitar 500 ton emas disimpan di rumah-rumah warga Vietnam, sebagian besar dalam bentuk batangan, cincin, atau perhiasan.
Bagi pemerintah, tumpukan emas tersebut adalah modal diam yang tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, serangkaian kebijakan baru mulai diterapkan.
Setiap transaksi di atas 20 juta dong kini wajib dilakukan melalui transfer bank untuk mencegah perdagangan tunai dan mempersempit ruang pasar gelap.
Pemerintah juga sedang mengkaji penerapan pajak 0,1 persen untuk transaksi emas batangan serta pajak 10 persen bagi pembelian perhiasan guna mendorong masyarakat beralih ke investasi produktif.
Selain itu, Vietnam tengah menyiapkan bursa emas nasional agar jual beli emas dapat dilakukan secara transparan dan teregulasi.
Tujuannya agar logam mulia yang tersimpan di rumah warga bisa kembali beredar dalam sistem ekonomi resmi.
Namun tantangan terbesar bukan pada regulasi, melainkan pada kepercayaan.
Selama emas dianggap sebagai bentuk keamanan yang lebih pasti dibanding bank, masyarakat akan terus menimbunnya di rumah.
“Dulu saya simpan uang di bank, tapi sekarang lebih tenang pegang emas. Ini untuk pendidikan anak dan masa pensiun saya,” kata Hue.
Kebijakan baru mungkin mampu mengawasi transaksi, tetapi tidak mudah mengubah keyakinan yang sudah mengakar puluhan tahun.
Di Hanoi, Le Thi Minh Tam masih berjuang mencari emas untuk mahar anaknya yang akan menikah dalam waktu dekat.
“Di Vietnam, emas bukan cuma hadiah. Ini cara kami menunjukkan kasih sayang,” ujarnya.
Bagi pemerintah, emas adalah aset ekonomi yang perlu dikendalikan.
Namun bagi rakyat, emas adalah simbol cinta, kepercayaan, dan cara bertahan menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Selama keyakinan itu belum berubah, 500 ton emas di bawah bantal warga Vietnam akan tetap sulit disentuh. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

