Repelita Jakarta - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang sempat mengungkapkan kekhawatiran bahwa Ibu Kota Negara (IKN) berpotensi menjadi kota hantu kembali menjadi sorotan publik setelah media internasional The Guardian menulis laporan serupa pada pekan lalu.
Dalam laporan tersebut, The Guardian menyebut bahwa proyek IKN di Kalimantan Timur berisiko menjadi kota hantu karena minimnya aktivitas dan ketidakpastian investasi yang mengiringi pembangunan kawasan tersebut.
Pernyataan Jokowi yang disampaikan pada Oktober 2024 juga mengandung nada serupa, di mana ia menyatakan kekhawatiran bahwa IKN bisa saja menjadi kota hantu jika tidak didukung oleh ekosistem yang hidup dan partisipasi aktif dari investor serta masyarakat.
Sorotan terhadap dua pernyataan ini muncul setelah publik mengingat kembali kasus hukum yang menimpa jurnalis Edy Mulyadi pada tahun 2022, yang divonis 7,5 bulan penjara karena menyebut IKN sebagai tempat jin buang anak.
Majelis hakim dalam putusan tersebut menyatakan bahwa Edy terbukti menyebarkan informasi yang belum pasti kebenarannya dan dinilai meresahkan publik serta mengganggu stabilitas proyek strategis nasional.
Kini, publik mempertanyakan apakah standar hukum yang sama akan diterapkan terhadap pernyataan Presiden Jokowi dan laporan The Guardian yang memiliki nada serupa dengan pernyataan Edy Mulyadi.
Sebagian kalangan menilai bahwa laporan The Guardian justru memperkuat argumen Edy, yang sebelumnya dianggap menyebarkan informasi tidak benar, padahal substansi kekhawatiran yang ia sampaikan kini diakui oleh media internasional dan bahkan oleh kepala negara sendiri.
Kritik juga diarahkan kepada narasi pemerintah yang sebelumnya menyebut bahwa ratusan investor asing siap menanamkan modal di IKN, namun hingga kini belum terlihat realisasi yang signifikan di lapangan.
Pertanyaan publik pun mengemuka: jika Edy Mulyadi dipenjara karena menyampaikan kekhawatiran terhadap masa depan IKN, apakah negara juga akan memproses secara hukum pernyataan serupa yang datang dari Presiden dan media asing?
Hingga saat ini, belum ada respons resmi dari otoritas hukum terkait perbandingan tersebut, namun isu ini terus bergulir di ruang publik dan menjadi bahan diskusi di berbagai kanal media sosial.
Tayangan diskusi yang memuat pertanyaan tersebut juga telah beredar luas, salah satunya melalui kanal YouTube pada 3 November 2025, yang turut memperkuat sorotan terhadap ketimpangan perlakuan hukum dalam kasus serupa.
Publik menunggu kejelasan apakah hukum akan ditegakkan secara adil dan konsisten, atau hanya berlaku selektif terhadap pihak-pihak tertentu yang dianggap berseberangan dengan arus kekuasaan. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

