Repelita Jakarta – Polemik ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali memanas setelah pembelaan dari influencer Dian Hunafa dinilai tidak menyentuh substansi perkara yang digugat oleh pengacara Subhan Palal.
Dalam sebuah podcast yang diunggah ke kanal YouTube, Dian Hunafa menyampaikan pembelaan terhadap Gibran dengan menyebut bahwa sistem pendidikan luar negeri memiliki karakteristik berbeda dan tidak bisa disamakan dengan sistem dalam negeri.
Namun, pernyataan tersebut justru menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari entrepreneur dan kreator digital asal Garut, Angga Sugih Pragina.
Angga menyebut bahwa pembelaan Dian Hunafa mengandung kebohongan dan tidak memahami inti persoalan yang sedang digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Pembelaan Dian Hunafa itu yang salah. Itu yang bohong. Sehingga Gibran tidak bisa kuliah di MDIS,” ujar Angga dalam kanal YouTube AaGuruTiGarut, dikutip Kamis, 25 September 2025.
Ia menilai bahwa narasi yang disampaikan Dian tidak menyentuh substansi perkara, yakni keabsahan ijazah SMA Gibran yang digunakan untuk mendaftar sebagai calon wakil presiden.
Menurut Angga, ijazah sarjana Gibran bukanlah inti persoalan. Yang dipermasalahkan adalah ijazah SMA yang dinilai janggal dan tidak koheren.
“Yang dipermasalahkan ijazah SMA-nya, karena sampai dua kali kemudian tahunnya tidak koheren dan sebagainya,” jelasnya.
Angga juga menyoroti penyetaraan ijazah Gibran yang berasal dari Bradford University, bukan dari MDIS, karena MDIS tidak memiliki kewenangan mengeluarkan gelar akademik.
“Gelarnya Gibran itu kan penyetaraan dari Bradford, bukan dari MDIS. Karena MDIS tidak bisa mengeluarkan gelar, harus melalui universitas afiliasinya,” tegasnya.
Ia mempertanyakan bagaimana UTS Insearch bisa diakui sebagai setara SMA, padahal sistem pendidikan Australia memiliki struktur berbeda.
“Kenapa UTS Insearch ini kok diakui sebagai SMA atau sebagai setara SMA?” tanya Angga.
Dalam gugatan yang diajukan Subhan Palal, Gibran diminta membuktikan keabsahan ijazah SMA yang digunakan saat mendaftar ke KPU.
Gugatan tersebut juga menyasar KPU RI sebagai pihak tergugat karena dinilai lalai dalam melakukan verifikasi dokumen pencalonan.
Subhan menuntut ganti rugi sebesar Rp125 triliun atas dugaan pelanggaran administratif dan pemalsuan dokumen.
Sidang perdana telah digelar pada 8 September 2025 di PN Jakarta Pusat, namun belum ada keputusan resmi dari majelis hakim.
Dian Hunafa sendiri belum memberikan tanggapan atas kritik yang dilayangkan terhadap pembelaannya.
Sementara itu, publik terus menyoroti kasus ini karena menyangkut integritas pejabat negara dan transparansi lembaga penyelenggara pemilu.
Beberapa pakar hukum tata negara menyarankan agar Gibran segera memberikan klarifikasi terbuka untuk meredam kegaduhan politik.
Mereka menilai bahwa polemik ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi jika tidak ditangani secara serius.
KPU juga diminta untuk memperbaiki sistem verifikasi dokumen agar tidak terjadi kelalaian serupa di masa mendatang.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak bahwa keabsahan dokumen pencalonan harus menjadi prioritas utama dalam pemilu.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

