Repelita Jakarta - Kejaksaan Agung menetapkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sebagai tersangka dalam kasus pengadaan laptop berbasis Chromebook pada Kamis, 4 September 2025.
Penetapan ini menambah daftar tersangka yang sebelumnya sudah ditetapkan, yakni Jurist Tan selaku mantan staf khusus Nadiem, Ibrahim Arief sebagai konsultan teknologi, Mulyatsyah yang menjabat Direktur SMP pada periode 2020-2021, dan Sri Wahyuningsih sebagai Direktur Sekolah Dasar pada periode yang sama.
Kasus ini berawal dari program digitalisasi pendidikan yang dilaksanakan Kemendikbudristek pada 2019-2022. Dalam pelaksanaannya, para tersangka diduga bersepakat untuk meloloskan penggunaan sistem operasi berbasis Chrome pada perangkat laptop yang diadakan melalui APBN.
Sebelum Nadiem resmi dilantik pada 19 Oktober 2019, ia bersama Jurist Tan dan Fiona Handayani telah membentuk grup WhatsApp bernama Mas Menteri Core Team. Dalam grup ini, mereka membahas rencana pengadaan laptop Chromebook untuk kebutuhan pendidikan.
Usai dilantik, Nadiem kemudian menugaskan Jurist Tan berkoordinasi dengan Ibrahim Arief sebagai konsultan teknologi di Kemendikbud. Jurist juga aktif memfasilitasi pertemuan dengan pihak Google Indonesia pada Februari 2020, membicarakan penggunaan produk Google dalam program digitalisasi.
Kejaksaan Agung mengungkap bahwa Nadiem memberi arahan melalui rapat daring tertutup pada 6 Mei 2020. Dalam rapat tersebut, sejumlah pejabat diminta mengikuti instruksi untuk mengarahkan pengadaan laptop berbasis Chrome.
Tidak lama setelah itu, pejabat di Kemendikbud yakni Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah melaksanakan perintah tersebut. Mereka menunjuk PT Bhinneka Mentari Dimensi sebagai penyedia perangkat, mengganti pejabat pembuat komitmen, hingga menyusun petunjuk pelaksanaan yang mengarahkan penggunaan Chrome OS.
Pengadaan laptop yang berlangsung 2019-2022 menghabiskan anggaran sekitar Rp 9,3 triliun untuk 1,2 juta unit. Namun, hasil telaah menunjukkan perangkat itu tidak bisa digunakan optimal karena ketergantungan pada jaringan internet yang tidak merata, terutama di daerah 3T.
Akibat pengadaan ini, negara diperkirakan mengalami kerugian keuangan hingga Rp 1,98 triliun. Para tersangka dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

