
Repelita Jakarta - Presiden Joko Widodo selama sepuluh tahun terakhir dinilai telah membonsai warga negara dengan mengubah mereka menjadi relawan politik yang loyal kepadanya.
Pengamat politik Eep Saefullah Fatah mengungkapkan pengalamannya saat menjadi bagian dari tim marketing pasangan Jokowi-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014.
Jauh sebelum pelantikan, Jokowi menggelar tasyakuran di sebuah hotel di Jakarta Selatan.
Saat itu, Jokowi tidak membubarkan relawan seperti yang diperkirakan, melainkan meminta mereka untuk tetap aktif dan tidak diam menghadapi serangan politik setelah ia menjabat sebagai presiden.
Eep mengingatkan bahwa sikap tersebut mirip dengan dua pemimpin Asia Tenggara lainnya, mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra dan mantan Presiden Filipina Joseph Estrada.
Thaksin yang mempertahankan relawannya ketika menjabat, memicu hampir terjadinya perang horizontal setelah ia dijatuhkan.
Begitu juga Joseph Estrada yang memerintahkan relawan untuk melindunginya di Istana Malakanyang ketika menghadapi kasus korupsi di Filipina.
Beruntung, konflik horizontal berhasil dihindari karena ketidakseimbangan kekuatan.
Eep menegaskan bahwa membonsai warga negara menjadi relawan yang aktif berpotensi memecah persatuan bangsa.
Ia menyatakan bahwa pemimpin yang tidak membubarkan relawan politiknya membuka peluang krisis politik dan ancaman perpecahan.
Menurutnya, seorang presiden seharusnya berada di luar kepentingan partisan dan tidak bertindak sebagai ketua dewan pembina relawan.
Eep menilai bahwa wajah kepemimpinan seperti yang ditunjukkan Jokowi tidak boleh diteruskan oleh presiden selanjutnya.
Ia mengingatkan bahwa peran kepala negara harus bersifat netral demi menjaga persatuan bangsa dan stabilitas politik.
Potensi ancaman konflik horizontal yang muncul akibat relawan yang dibonsai ini menjadi peringatan serius bagi masa depan demokrasi Indonesia.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

