
Repelita Jakarta - Politikus PDI Perjuangan, Ferdinand Hutahaean, mengkritik keras Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) setelah lembaga tersebut mengirimkan surat tagihan royalti musik kepada sejumlah hotel.
Kejadian ini bermula ketika LMKN menagih royalti musik dengan alasan adanya Televisi (TV) di kamar tamu hotel, yang dinilai beberapa pihak sebagai langkah yang tidak masuk akal.
Melalui cuitannya di akun media sosial X pribadi, Ferdinand Hutahaean menyampaikan rasa herannya terhadap keputusan LMKN yang menagih royalti untuk fasilitas di kamar hotel.
“TV dikamar Hotel? Emangnya kamar hotel itu ruang publik?,” tulis Ferdinand dalam cuitannya yang diposting Rabu (13/8/2025).
Ia bahkan menilai tindakan LMKN berlebihan dan menyebut lembaga tersebut dungu. “LMKN ini memang dungu..!!,” tambah Ferdinand, menegaskan ketidaksetujuannya atas surat tagihan yang dikirim.
Sebelumnya, pengusaha hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), juga menyatakan kekesalannya setelah menerima surat tagihan royalti dari LMKN.
Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), I Made Adiyasa, menjelaskan bahwa surat tagihan LMKN mewajibkan seluruh usaha yang menyediakan sarana hiburan, termasuk musik, untuk membayar royalti, meski musik tidak diputar secara aktif di kamar tamu.
"Pihak hotel telah menerima surat dari LMKN. Meskipun mereka menyampaikan tidak memutar musik, LMKN menilai televisi di kamar tamu dapat digunakan untuk mendengarkan musik, sehingga tetap dianggap sebagai pemutaran,” kata Adiyasa, dikutip Rabu (13/8/2025).
LMKN sendiri dibentuk berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta, yang memberikan kewenangan untuk mengelola pengumpulan royalti atas penggunaan karya cipta lagu dan musik di Indonesia.
Kewenangan LMKN diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, yang menjadi dasar hukum bagi lembaga untuk menagih royalti dari berbagai pihak.
Tindakan ini memicu perdebatan di kalangan pengusaha dan publik karena dianggap menimbulkan beban tambahan yang tidak lazim, terutama bagi industri perhotelan yang menyediakan layanan hiburan bagi tamu secara terbatas atau tidak langsung memutar musik.
Langkah LMKN menagih royalti hanya karena adanya TV di kamar hotel menjadi sorotan publik, dan menimbulkan pertanyaan tentang batasan hukum penggunaan karya musik di ruang privat maupun publik.
Fenomena ini menimbulkan diskusi lebih luas mengenai keseimbangan antara perlindungan hak cipta dan praktik bisnis yang wajar, serta pentingnya evaluasi prosedur penagihan agar tidak membebani pengusaha yang tidak melakukan pemutaran musik secara aktif.
Kasus ini menjadi perhatian nasional karena dampaknya terhadap operasional hotel dan pengusaha lain yang menyediakan sarana hiburan di ruang privat, sekaligus menyoroti perlunya mekanisme yang lebih adil dan transparan dalam penerapan aturan royalti. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

