![Ilustrasi royalti lagu [asb].](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/02/15/83751-ilustrasi-royalti-lagu.jpg)
Repelita Jakarta - Pernyataan Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Dharma Oratmangun tentang kewajiban membayar royalti bagi kafe yang memutar rekaman suara alam seperti kicau burung memicu gelombang protes luas dari publik.
Ucapan Dharma yang disampaikan pada Jumat, 23 Mei 2025, mendadak memancing polemik setelah menjelaskan bahwa rekaman suara burung atau suara alam lain tetap memiliki hak terkait yang dilindungi undang-undang.
Menurutnya, pemilik kafe yang memutar rekaman tersebut untuk mendatangkan keuntungan tetap wajib menghargai produsen fonogram sebagai pihak yang merekam.
Ia menyebut fenomena kafe yang sengaja memutar suara alam untuk menghindari royalti musik adalah salah kaprah yang harus diluruskan dengan edukasi.
Dalam penjelasannya, Dharma menyoroti pentingnya kesadaran membayar hak kekayaan intelektual karena penggunaan rekaman suara, meski hanya suara alam, tetap menjadi bagian dari karya berbayar.
Ia menegaskan budaya menghormati hak orang lain harus dijaga, terutama jika suara alam itu digunakan untuk tujuan komersial.
Reaksi keras warganet pun membanjiri media sosial, menilai logika kebijakan tersebut berlebihan.
Dalam video Instagram yang diunggah hari ini, Senin, 4 Agustus 2025, seorang perempuan menumpahkan kekesalan dengan satire.
Ia menyindir pemerintah seolah kehabisan cara memungut royalti, bahkan dari alam yang mestinya dinikmati bebas.
Dalam kritiknya, perempuan itu menyatakan, "Pemerintah kurang puas mungkin ya. Alam Indonesia udah dieksploitasi, udah dirusak, suara alamnya juga mau dikomersilkan."
Ia pun menambahkan nada satire yang memancing tawa warganet.
"Yang saya khawatirkan sekarang cuma satu ya, apakah pemerintah ke depannya akan menarik pungutan dari kentut?" ujarnya.
Dharma sendiri menekankan bahwa fokusnya adalah pada hak pembuat rekaman, bukan suara burung di alam terbuka.
Ia beralasan, karya rekaman tetap butuh biaya, keahlian, dan alat profesional, sehingga hasilnya pantas dihargai.
Namun, di mata publik, wacana ini dianggap sebagai beban baru bagi usaha kecil yang kesulitan membayar royalti musik biasa.
Kritik terus mengalir, menjadikan isu royalti suara alam sebagai simbol kegelisahan atas kebijakan yang dinilai memberatkan rakyat kecil.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

